Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Subandi Rianto
Sejarawan, Pekerja Media

Sejarawan, Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Seteru Sekutu Militer dengan Parlemen

Kompas.com - 29/09/2022, 05:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menghadapi gertakan petinggi militer, Soekarno menolak permintaan Nasution untuk membubarkan DPR. Soekarno beralasan dirinya tak ingin disebut fasis karena membubarkan lembaga legislatif.

Konflik militer dengan parlemen tahun 1952 ini berakhir dengan dicopotnya Nasution dari jabatan KSAD dan disepakatinya Piagam Keutuhan Angkatan Darat sebagai hasil pertemuan Yogyakarta (Kompas.com, 17/10/2018)

Peristiwa 17 Oktober 1952, tak sepenuhnya memupus relasi antara militer dengan parlemen. Sejarah mencatat justru di kemudian hari, AH Nasution yang pernah dicopot Soekarno dan kemudian diangkat kembali dalam jabatan petinggi militer, kemudian melontarkan gagasan Dwifungsi ABRI.

Pada 12 November 1958, di Akademi Militer Nasional (AMN) Nasution melontarkan gagasan Dwifungsi ABRI yang gaungnya kemudian ditangkap dalam sidang-sidang MPRS.

Puncaknya ketika Soekarno lengser dan digantikan Soeharto, secara cepat kemudian militer menguasai posisi-posisi penting di parlemen dan dengan dukungan Fraksi Golongan Karya menjadi fraksi mayoritas.

Selama lebih dari 30 tahun, Soeharto dan militer menikmati dan melanggengkan simbiosis mutualisme dengan parlemen.

Kondisi ini memberikan romantisme besar bagi kalangan militer untuk terus membangun relasi dengan politik pascaruntuhnya orde baru.

Tak heran setelah reformasi bergulir, pucuk-pucuk partai politik parlemen masih dihiasi taburan bintang purnawirawan.

Bahkan secara periodik, posisi Panglima TNI seringkali masuk dalam radar-radar survei calon presiden.

Tak hanya Jenderal Andika Perkasa yang menjadi bakal calon presiden Nasdem. Pendahulunya, Gatot Nurmantyo saat menjabat Panglima TNI juga sesekali namanya muncul dalam survei-survei politik.

Kondisi ini, sekali lagi, pada posisi pascareformasi, memberikan pekerjaan rumah bagi petinggi militer untuk menjaga jarak dengan politik.

Militer perlu berfokus pada profesionalisme prajurit, tidak perlu bertindak layaknya politisi. Jika politisi terbiasa mengumbar suara, ya memang parlemen adalah kamar demokrasi tempat ide dan gagasan diadu.

Adagium tentara berpolitik berbahaya bagi demokrasi berlandaskan dari masa kelam Orde Baru. Seteru politik disikat tak hanya di parlemen, bahkan di jalanan.

Partai-partai oposisi masa Orde Baru dibonsai dan suara-suara yang mengkritik pemerintah dituduh subversif. PPP dibonsai dan Kongres PDIP dirusuhi. Sementara para pengkritik, nama-nama mereka menghilang.

Tak hanya soal intervensi militer terhadap politik, hari-hari ini publik juga dikejutkan anomali oknum militer mengumbar senjata di jalan tol memunculkan kekhawatiran akan hadirnya kembali arogansi jalanan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com