KERIBUTAN antara politisi PDIP Effendi Simbolon dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman mengingatkan kita bahwa relasi militer dengan parlemen di negara ini masih memiliki pekerjaan rumah terkait manajemen komunikasi yang baik.
Musababnya, anggota Komisi 1 DPR-RI ini menyampaikan kritik terhadap konflik internal militer yang ditanggapi secara reaktif oleh KSAD.
Video orasi KSAD kemudian diikuti dengan kecaman dari anggota militer beredar luas dan masif di media sosial.
Namun, yang publik lupa, kritik Effendi Simbolon terhadap militer dilakukan dalam forum resmi rapat antara legislatif dengan eksekutif. Parlemen merupakan simbol dari kamar demokrasi untuk debat-debat politik yang membangun.
Hanya saja, catatan bagi banyak politisi parlemen negeri ini untuk belajar menggunakan kata-kata santun. Sebaliknya, catatan juga bagi petinggi militer untuk tidak reaktif terhadap politik.
Banyak pengamat menafsirkan video orasi KSAD yang diikuti kecamatan serupa dari anggota-anggota militer sebagai upaya “tentara berpolitik”. Ekses negatif ini perlu diantisipasi agar masalahnya tidak melebar dan terulang kembali.
Pada posisi ini kita patut berterima kasih dengan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang tetap tenang fokus pada profesionalisme.
Panglima TNI tidak melakukan tindakan-tindakan yang mencemari politik dan/atau melakukan upaya balik untuk mengintervensi politik.
Profesionalisme ini diperlukan mengingat menjadi tentara profesional adalah pekerjaan rumah jangka panjang bagi militer Indonesia.
Pada 17 Oktober 1952, saat Soekarno masih memegang kepemimpinan di republik ini, Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel AH Nasution bersama dengan tujuh perwira lainnya melakukan protes mengelar tank dengan diarahkan moncongnya ke Istana Presiden menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Penyebabnya sederhana, konflik internal di tubuh militer merembet ke parlemen. Sehingga politisi di DPRS ikut-ikutan mengomentari konflik internal militer.
Konflik ini diawali keinginan Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal TB Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution mengembalikan tentara menjadi lebih profesional.
Karena pada masa itu banyak petinggi-petinggi militer menjabat di posisi politik sehingga membuat tupoksi angkatan darat menjadi tidak fokus.
Ide ini ternyata membuat internal AD bergejolak. Kolonel Bambang Supeno mengirim surat ke DPRS dan menganggap kinerja Nasution tak becus.
Menghadapi gertakan petinggi militer, Soekarno menolak permintaan Nasution untuk membubarkan DPR. Soekarno beralasan dirinya tak ingin disebut fasis karena membubarkan lembaga legislatif.
Konflik militer dengan parlemen tahun 1952 ini berakhir dengan dicopotnya Nasution dari jabatan KSAD dan disepakatinya Piagam Keutuhan Angkatan Darat sebagai hasil pertemuan Yogyakarta (Kompas.com, 17/10/2018)
Peristiwa 17 Oktober 1952, tak sepenuhnya memupus relasi antara militer dengan parlemen. Sejarah mencatat justru di kemudian hari, AH Nasution yang pernah dicopot Soekarno dan kemudian diangkat kembali dalam jabatan petinggi militer, kemudian melontarkan gagasan Dwifungsi ABRI.
Pada 12 November 1958, di Akademi Militer Nasional (AMN) Nasution melontarkan gagasan Dwifungsi ABRI yang gaungnya kemudian ditangkap dalam sidang-sidang MPRS.
Puncaknya ketika Soekarno lengser dan digantikan Soeharto, secara cepat kemudian militer menguasai posisi-posisi penting di parlemen dan dengan dukungan Fraksi Golongan Karya menjadi fraksi mayoritas.
Selama lebih dari 30 tahun, Soeharto dan militer menikmati dan melanggengkan simbiosis mutualisme dengan parlemen.
Kondisi ini memberikan romantisme besar bagi kalangan militer untuk terus membangun relasi dengan politik pascaruntuhnya orde baru.
Tak heran setelah reformasi bergulir, pucuk-pucuk partai politik parlemen masih dihiasi taburan bintang purnawirawan.
Bahkan secara periodik, posisi Panglima TNI seringkali masuk dalam radar-radar survei calon presiden.
Tak hanya Jenderal Andika Perkasa yang menjadi bakal calon presiden Nasdem. Pendahulunya, Gatot Nurmantyo saat menjabat Panglima TNI juga sesekali namanya muncul dalam survei-survei politik.
Kondisi ini, sekali lagi, pada posisi pascareformasi, memberikan pekerjaan rumah bagi petinggi militer untuk menjaga jarak dengan politik.
Militer perlu berfokus pada profesionalisme prajurit, tidak perlu bertindak layaknya politisi. Jika politisi terbiasa mengumbar suara, ya memang parlemen adalah kamar demokrasi tempat ide dan gagasan diadu.
Adagium tentara berpolitik berbahaya bagi demokrasi berlandaskan dari masa kelam Orde Baru. Seteru politik disikat tak hanya di parlemen, bahkan di jalanan.
Partai-partai oposisi masa Orde Baru dibonsai dan suara-suara yang mengkritik pemerintah dituduh subversif. PPP dibonsai dan Kongres PDIP dirusuhi. Sementara para pengkritik, nama-nama mereka menghilang.
Tak hanya soal intervensi militer terhadap politik, hari-hari ini publik juga dikejutkan anomali oknum militer mengumbar senjata di jalan tol memunculkan kekhawatiran akan hadirnya kembali arogansi jalanan.
Kita perlu mengingatkan agar militer kembali berfokus menata internal dan mengelola dengan baik pola komunikasinya kepada publik.
Namun, pekerjaan rumah komunikasi militer sebagai entitas profesional dengan parlemen sebagai pilar demokrasi perlu dikelola dengan baik.
Terlebih survei terbaru dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menempatkan institusi TNI pada posisi pertama lembaga negara yang dipercaya anak muda. Skornya tidak main-main nyaris sempurna diangka 93,5 persen.
Berbanding terbalik dengan DPR diurutan buncit. Posisi tiga dari bawah terdapat institusi Polri yang sedang diterpa konflik internal (Kompas.com, 27/09/22).
Singkatnya, publik lebih percaya TNI ketimbang Polri dalam menjaga marwah institusi. Kita perlu bersama-sama menjaga agar TNI terus profesional dan terhindar dari kepentingan politik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.