JAKARTA, KOMPAS.com - Baru-baru ini ramai isu soal pemutusan hubungan kerja (PHK).
Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyebut, keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memudahkan perusahaan memecat karyawannya.
Sebelum ada UU Cipta Kerja, ihwal PHK diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU tersebut mengatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Jika tak dapat dihindari, PHK wajib dirundingkan lebih dulu oleh pengusaha dan pekerja.
Jika pun perundingan tak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat menjatuhkan PHK ke pekerjanya setelah ada ketetapan dari pengadilan hubungan industrial (PHI).
Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan bahkan menyatakan, PHK tanpa ketetapan PHI batal demi hukum.
Baca juga: Permenaker Baru, Pegawai Resign dan Kena PHK Kini Boleh Cairkan JHT
Namun, menurut Aspek, ketentuan itu tak berlaku lagi. Sebab, Pasal 155 UU Ketenagakerjaan dihapus di UU Cipta Kerja.
"Kalau dulu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu mengatur, kalau pekerja atau buruh di-PHK, dia menjadi sah ketika sudah ada putusan PHK dari pengadilan hubungan industrial," kata Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat kepada Kompas.com, Selasa (27/9/2022).
"Jadi sebelum ada putusan pengadilan, maka hak para pekerja tersebut harus dibayarkan dari upah," ujarnya.
Dengan ketentuan UU Cipta Kerja kini, menurut Mirah, banyak perusahaan yang dengan mudah memecat pekerjanya.
Baca juga: Mengenal JKP, Opsi Pemerintah untuk Pekerja yang Di-PHK
Sebab, seketika perusahaan mengeluarkan surat PHK, saat itu pula mereka membayarkan pesangon ke pekerja yang dipecat. Sehingga, jika pekerja mengajukan gugatan ke PHI, tak akan banyak yang berubah.
"Makanya kenapa fakta yang terjadi di lapangan pengusaha itu mem-PHK pekerja buruhnya itu prosesnya dalam satu hari, itu memang luar biasa Undang-Undang Cipta Kerja ini," ujar Mirah.
"Memang tidak ada kalimat secara clear pengusaha bisa mem-PHK dalam satu hari, tapi perusahaan dapat melakukan PHK kepada pekerja, buruhnya, lewat surat pemberitahuan tertulis, kemudian dia langsung transfer (pesangon). Itu terjadi," lanjut dia.
Benarkah kini semudah itu memecat karyawan dari perusahaan? Bagaimana aturan PHK sebenarnya?
Pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja memang mengatur lebih banyak alasan perusahaan dapat memecat pekerjanya.
Di UU Ketenagakerjaan, ada 15 alasan perusahaan dapat menjatuhkan PHK ke karyawan. Sementara, dalam UU Cipta Kerja, jumlahnya bertambah jadi 26.
Salah satu alasan yang kini bisa digunakan perusahaan memecat pekerja misalnya, jika pengusaha dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Dari sisi ini, kata Timboel, pekerja memang lebih rentan didepak dari perusahaan.
"Sehingga pekerja itu menjadi relatif lebih rentan," katanya kepada Kompas.com, Selasa (27/9/2022).
Namun demikian, Timboel menyebut, perusahaan sebenarnya tak semudah itu menjatuhkan PHK ke pekerjanya.
Mengacu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PHK disebut sah jika terjadi dua kondisi.
Pertama, adanya Perjanjian Bersama yang disepakati perusahaan dan pekerja. Kedua, adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Baca juga: Syarat dan Kriteria Klaim JKP untuk Pekerja dan Buruh yang di-PHK
Timboel menyebutkan, perihal sah dan tidak sah PHK ini memang tak diatur secara gamblang dalam UU Ketenagakerjaan maupun Cipta Kerja.
Namun, dia memastikan, selama belum ada Perjanjian Bersama atau putusan pengadilan yang sah terkait ini, PHK perusahaan terhadap karyawan seharusnya belum bisa berlaku.
"Jadi kalau seseorang dibilang di-PHK, itu belum sah, mau seribu kali diucapkan, mau seribu kali surat keluar, itu nggak sah. Sahnya itu kapan? Ya kalau ada putusan pengadilan atau Perjanjian Bersama," ujar Timboel.
Dalam hal pekerja tak terima dirinya di-PHK, dia dan perusahaan dapat melakukan Perjanjian Bersama, misalnya untuk menyepakati jumlah pesangon.
Kesepakatan yang telah dicapai lantas ditandatangani kedua belah pihak untuk selanjutnya didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Selanjutnya, PHI akan mengeluarkan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama, sehingga perjanjian berlaku mengikat dan menjadi hukum yang wajib dilaksanakan seluruh pihak.
"Bukti pendaftaran Perjanjian Bersama ini kekuatan hukumnya sama dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang berkekuatan hukum tetap," jelas Timboel.
Jika kedua belah pihak belum menemukan kesepakatan melalui Perjanjian Bersama, maka perselisihan ini dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Selama PHI belum mengeluarkan keputusan, perusahaan tetap harus menjalankan kewajibannya ke pekerja, mulai dari membayarkan upah, jaminan sosial dan kesehatan, hingga tunjangan hari raya (THR).
Oleh karenanya, menurut Timboel, dari sisi ini, keberadaan UU Cipta Kerja sebenarnya tak berpengaruh pada percepatan proses PHK perusahaan terhadap karyawan.
"Maksudnya, memang ada proses-proses, tapi tentunya tidak otomatis langsung semuanya di tangan pengusaha tidak," ucap dia.
Kendati sejumlah undang-undang telah mengatur decara detail, Timboel mengakui, banyak pekerja yang belum paham soal aturan PHK ini.
Akibatnya, ketika tiba-tiba menerima surat PHK dari perusahaan, pekerja menerimanya begitu saja tanpa mempertanyakan alasan, bahkan besaran pesangon.
Baca juga: Shopee PHK Massal, Disnaker DKI Ungkap Niat untuk Bantu Karyawan Terdampak
Padahal, jika tak terima, pekerja sangat mungkin mengajukan Perjanjian Bersama, atau menyelesaikan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebaliknya, kata Timboel, ketidaktahuan pekerja ini dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengambil jalan cepat menjatuhkan PHK ke karyawan.
"Jadi, karyawannya tidak teredukasi, perusahaan lebih mudah untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari ketentuan norma ketenagakerjaan," ujar Timboel.
Oleh karenanya, lanjut Timboel, masih menjadi PR ke depan untuk mengedukasi para pekerja dan mengawasi perusahaan terkait ini.
"Saya berkali-kali bilang, ini memang harus diedukasi," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.