Dewan Kopral dibentuk untuk mendukung pencalonan Ganjar Pranowo dalam Pilpres 2024 (Kompas.com, 23/09/2022).
Sebagai komparasi di struktur militer, yang memiliki pangkat kopral jauh lebih banyak daripada yang berpangkat kolonel. Maka, tentu determinasi dukungan di akar rumput akan lebih besar daripada di tingkat elitis.
Sebagai dialetika politik dan manuver politik, ide pembentukan dewan kolonel dan dewan kopral, atau mungkin saja nantinya akan bermunculan dewan sersan, dewan letnan, dewan kapten, dewan prajurit serta dewan “apa saja” jelas merugikan dan mendegradasi marwah dewan pimpinan pusat partai.
Dewan-dewan itu, menurut saya berpotensi mengggerus suara PDI-P, alih-alih ingin mewangikan justru malah membusukkan kader-kader yang sudah wangi seperti Puan, Ganjar atau kader-kader yang lain yang kebetulan sudah menjadi menteri atau kepala daerah dan berprestasi.
PDI-P sudah memiliki lebih dari “starting XI” yang moncer dan berpotensi menjadi meteor politik baru seperti Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Abdullah Azwar Anas, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Walikota Semarang Hendrar Prihadi, Walikota Solo Gibran Rakabumi, Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin, atau Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestidiandani.
Dewan pimpinan pusat adalah pusat pengendalian strategi partai. Bahkan dewan pimpinan pusat sudah memiliki badan pemenangan pemilu dan Megawati sudah mempunyai war room yang bisa memantau dan meng-update perkembangan politik dari waktu ke waktu.
Pembentukkan “dewan-dewan” hanyalah menghabiskan energi politik, di saat konsentrasi kebangsaan dan kenegaraan adalah membumikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung PDI-P.
Pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan lonjakan inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat, justru harus disikapi dengan cerdas oleh PDI-P. Harapan wong cilik akan kemudahan untuk mencari pangan, cukup sandang, dan ketersediaan papan harus terus diperjuangkan dan diwujudkan PDI-P.
Pengalaman lama menjadi “cantrik” Megawati Soekarnoputeri sejak 2004 hingga 2010, setelah sebelumnya menjadi wartawan embedeed sejak kisruh PDI (nama sebelum PDI-P) dikuyo-kuyo rezim Soeharto jelang Kerusuhan 27 Juli 1996, saya memahami betul insting dan feeling Megawati saat menghadapi masa-masa genting.
Megawati tidak suka ditekan atau dipaksa. Jika ditekan dan dipaksa, justru sikapnya semakin mengeras dan kian teguh.
Saya masih ingat di saat rezim Orde Baru masih bertaji kuat, Megawati kerap menolak utusan Soeharto, baik yang militer berpangkat tinggi atau menteri-menteri Cendana yang ingin melunakkan sikap Megawati. Megawati tidak mau diatur apalagi didikte!
Sikap “berani” Jokowi yang nekad mendatangi Ukraina dan Rusia dengan datang langsung ke Kyiv akhir Juni 2022 di tengah ancaman serangan Rusia sewaktu-waktu mengingatkan saya akan keberanian Megawati. Bisa jadi, Jokowi terinspirasi dengan kenekadan dua presiden sebelumnya, Soekarno dan Megawati.
Saat mendatangi Maluku ketika ketegangan kerusuhan bernuansa SARA masih berkecamuk, Mei 2004, atau saat mengunjungi Banda Aceh ketika konflik Aceh masih bertensi tinggi, Maret 2004, saya melihat betapa Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) begitu “ketar-ketir” dengan potensi kerawanan keamanan. Saya yang tidak memakai rompi anti peluru, demikian juga Megawati, begitu percaya betul dengan kemampuan Paspampres selain perlindungan Allah SWT.
Jelang keruntuhan Soeharto, Megawati sudah bernalar kuat bahwa sikap politik yang akan disampaikan adalah menolak keikutsertaan PDI dalam Pemilu 1997. Keruntuhan kepemimpinan otoriter Soeharto tidak terlepas dari konstribusi Megawati dan PDI.
Ketika Megawati meng-endoorse penuh Jokowi sebagai calon wali kota Solo tahun 2005 serta berlanjut dengan pengajuan sebagai calon gubernur DKI di 2012, Megawati justru mendapat pertentangan dari lingkar terdalamnya.