Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Congkaknya Kekuasaan

Kompas.com - 24/09/2022, 16:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEORANG terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” – Pramoedya Ananta Toer.

Sastrawan yang telah menulis 50 buku dan telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing itu mewanti-wanti perilaku dan sikap tindak kita semua.

Pernah mendekam selama puluhan tahun dan mengalami siksaan fisik dari tentara selama rezim Soeharto berkuasa, tidak menjadikan Pramoedya Ananta Toer kehilangan nalar.

Saya pernah menyambangi adik Pramoedya di Blora, Jawa Tengah, yaitu Soesilo Toer. Lulusan sarjana dan pascasarjana dari Universitas Patrice Lumumba, Moskwa serta doktor tamatan Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov, Rusia itu begitu semenjana menjalani kehidupan.

Karena terkait dengan kakaknya yang dianggap beraliran “kiri”, keluarga besar Pramoedya termasuk Soesilo Toer harus menerima “nasib” disingkirkan oleh rezim Orde Baru yang congkak.

Walau sudah bergelar doktor yang jarang disandang kebanyakan orang Indonesia ketika itu, ternyata kembali ke Tanah Air yang dicintai dengan sepenuh hatinya di tahun 1973 harus mendapat “hadiah” meringkuk enam tahun di penjara.

Soesilo Toer dinilai “kiri” hanya karena bersaudara dengan Pramoedya dan kuliah di Uni Soviet (kini Rusia).

Selepas dari penjara, Soesilo Toer “dibuat” sulit untuk mendapat pekerjaan dengan alasan pemerintah khawatir dengan penyebaran ideologi komunis. Soesilo tidak pernah dihadapkan ke pengadilan untuk membuktikan dia salah atau keliru.

Alhasil, Soesilo Toer yang fasih berbahasa Inggris, Rusia, Jerman, dan Belanda harus nerimo menjalani hidup dengan mengais-ngais sampah di seantero Kota Blora demi menyambung hidup.

Di sisa hidupnya, Soesilo terus menulis karena sejatinya perlawanan dalam diam adalah menulis.

Beberapa hari yang lalu, kisah kebengisan mirip mandor perkebunan di zaman kolonial muncul di Depok, Jawa Barat. Atas nama keluhan masyarakat dan pelanggaran aturan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok, Tajudi Tabri, tega meminta pengemudi truk untuk guling-guling di aspal jalanan.

Baca juga: Amarah Wakil Ketua DPRD Depok, Suruh Sopir Truk Push-up di Jalan karena Tabrak Portal Pembatas

Bagi politisi Golkar itu, menghukum sopir yang nekad melewati pembatas jalanan di Jalan Krukut, Limo, Depok tidak cukup dengan perintah push up, tetapi juga injakan kaki.

Dengan berkacak pinggang, anggota dewan yang terhormat itu membuat pasrah sang sopir yang lemah tidak berdaya (Kompas.com, 23 September 2022).

Usai videonya viral dan menuai kecaman dari berbagai kalangan, Tajudin baru minta maaf tetapi tetap berkelit. Diakui dirinya bahwa dia tidak khawatir dianggap berlebihan oleh masyarakat karena memberikan sanksi kepada sopir truk.

Dia kemudian melakukan mediasi dengan sopir truk dan pengelola jalan Tol Cijago.

Harus dipahami, kenyataan di saat ini dan telah berlangsung sejak zaman dulu, kekuasaan itu begitu arogan. Kekuasaan membuat berjarak antara pemegang kekuasaan dengan kawulo alit apalagi rakyat jelata. Kekuasaan itu begitu wangi dan harus disembah oleh wong cilik.

Karena kekuasaan diperoleh dengan kesulitan tingkat tinggi, menjadi anggota dewan harus “menyogok” rakyat dengan serangan fajar di pemilu; menjadi jenderal harus menghalalkan segala cara sejak masuk pendidikan; mendapat jabatan kepala dinas harus “setoran” ke kepala dinas atau menjadi hakim agung harus “menggadaikan” integritas ke sponsor. Maka, jangan berharap untuk melihat kekuasaan berwajah kerakyatan.

Satu dari empat bangunan organisasi masyarakat (ormas) yang masih berdiri di Bantaran Kali Jati, Kayuringin Jaya, Kota Bekasi, Kamis (22/9/2022). Sejumlah warga pun mempertanyakan tentang sikap Pemkot Bekasi yang cenderung tebang pilih dalam penertiban bangli tersebut. KOMPAS.com/JOY ANDRE T Satu dari empat bangunan organisasi masyarakat (ormas) yang masih berdiri di Bantaran Kali Jati, Kayuringin Jaya, Kota Bekasi, Kamis (22/9/2022). Sejumlah warga pun mempertanyakan tentang sikap Pemkot Bekasi yang cenderung tebang pilih dalam penertiban bangli tersebut.
Lapak penjual digusur, markas ormas dibiarkan

“Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.” – Miriam Budiarjo.

Andai saja sang wakil rakyat yang berjiwa militeristik tersebut sempat mengikuti perkuliahan “Pengantar Ilmu Politik” dari mendiang Profesor Miriam Budiarjo di Kampus Universitas Indonesia (UI), pasti akan berpikir ulang untuk menggunakan kekuasaan dengan pongah.

Kekuasaan tidak harus ditampilkan dengan arogan dan congkak. Jika teori kekuasaan begitu berkelindan indah dalam pandangan pakar tetapi wajah kekuasaan yang tengik dan tidak membela nasib rakyat jelata terus bermunculan di Tanah Air.

 Baca juga: Satpol PP Kota Bekasi Tertibkan Puluhan Lapak Pedagang di Bantaran Kali Jati, Empat Kantor Ormas Tak Ikut Dibongkar

Di Kota Bekasi, Jawa Barat, 70 bangunan liar yang digunakan warga untuk berdagang ditertibkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Bekasi. Bangunan liar tersebut terpaksa dibongkar karena mengganggu pemanfaatan ruang terbuka di bantaran Kali Jati, Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan.

Anehnya ada empat “markas” organisasi kemasyarakatan (ormas) yang “kebal” dari program penggusuran, padahal sama dengan 70 bangunan liar yang lain, bediri di pinggir kali (Kompas.com, 23/09/2022).

Tentu saja, aksi tebang pilih Satpol PP Pemkot Bekasi tidak bisa diterima dengan nalar keadilan warga yang tergusur. Begitu pilih kasih dan pilih “gusur” karena pemerintah lokal begitu memberi “karpet” merah untuk ormas, sementara untuk warga yang berjibaku mencari rezeki halal harus disingkirkan.

Alasan Satpol PP Pemkot Bekasi pun terkesan “mengada-ada” ketika para korban gusuran mempertanyakan mengapa “markas” ormas kebal dari gusuran di saat lapak untuk berdagang harus ditiadakan?

Dengan alasan Pemkot Bekasi harus melakukan mediasi terlebih dahulu dengan ormas sehingga keberadaan “markas” ormas untuk sementara tidak digusur. Terlihat, betapa wibawa pemerintah lokal sangat tidak ada artinya dengan ormas.

Sementara dengan pedagang kecil, wajah “kekuasaan” Pemkot Bekasi begitu bertaji. Harus bisa dipahami, entitas negara sebagai sesuatu yang mutlak adanya selama ini diterima sebagai konstruksi yang tidak terbantahkan karena keberadaan negara tidak disadari secara penuh oleh manusia.

Negara bisa disadari keberadaannya ketika menyentuh level perorangan dan ketika berbenturan dengan kekuasaan. Justru hadirnya kekuasaan negara dalam berbagai bentuk namun bukan sebagai representasi kepentingan rakyat maka keberadaannya akan berbenturan dengan kekuasaan rakyat yang dimainkan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai representasi rakyat.

Di sinilah kekuasaan kemudian “bermain” dan negosiasi atas kekuasaan berjalan sehingga akan ditemukan siapa sesungguhnya yang memiliki kekuasaan lebih besar antara negara dan rakyat.

Gubernur Papua Lukas Enembe. (KOMPAS.COM/DHIAS SUWANDI) Gubernur Papua Lukas Enembe.
Gagal bayar utang, rumah diratakan rentenir

Kasus pembongkaran rumah Undang (47) warga Kampung Haurseah, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat oleh renternir menjadi pembelajaran ketika kekuasaan “informal” mengangkangi kekuatan permodalan resmi.

Andai saja pihak Pemkab Garut atau lembaga-lembaga keuangan resmi menjalankan fungsinya dengan benar, tentu nasib Undang yang berutang ke rentenir sebesar Rp 1,3 juta dengan tanggungan bunga Rp 350 ribu per bulan tidak seenaknya dibebani dengan ketidakwajaran (Kompas.com, 18/09/2022).

Kasus-kasus kemanusian yang berakhir dengan tragis karena pinjaman online menjadi pertanda ketika kekuasaan “preman” berbalut lembaga penyelenggara fintech peer to peer lending yang berizin memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat ke akses permodalan atau pinjaman jangka pendek yang mendesak.

Menjadi simalakama ketika masyarakat yang kepepet dengan pinjaman dana, tiba-tiba mendapat pinjaman tanpa persyaratan yang njelimet dan bertele-tele. Resmi pula dan berizin.

Saat jatuh tempo dan peminjam gagal membayar angsuran apalagi mengembalikan pokok pinjaman dan bunga, segala informasi pribadi diumbar dan dinistakan oleh debt collector yang tidak ber-Pancasilais sama sekali.

Sudah saatnya, kesombongan dan kecongkakkan pemilik kapital dihentikan dan tunduk pada aturan-aturan legal yang berwajahkan kemanusian.

Alasan telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan dan tidak melanggar aturan-aturan yang ada, begitu muskil disuarakan ketika mereka membutakan mata terhadap keadilan yang hakiki. Memanfaatkan kesulitan dan derita nestapa orang dengan menerapkan bunga yang mencekik dan tidak wajar, entah di mana wajah kekuasaan yang beradab disembunyikan?

Penyematan “tersangka” kasus gratifikasi dan korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe, juga mempertontonkan kekuasaan lokal vi a vis kekuasaan pusat.

Lukas Enembe melalui pengacaranya selalu berkilah bahwa dirinya tengah sakit strok dan harus berobat ke Singapura serta mendapatkan kekayaan dengan wajar karena memiliki tambang emas, maka KPK dituntut menjabarkan tuduhan dengan logika sederhana yang bisa diterima masyarakat.

Baca juga: KPK Imbau Lukas Enembe Penuhi Panggilan Penyidik di Gedung Merah Putih, Senin Depan

Benarkah Pak Gubernur Lukas Enembe hobi bermain judi di kasino dengan nilai yang fantastis dan kerap wira-wiri dengan pesawat jet carteran atas nama dinas? Benarkah dana otonomi khusus Papua menjadi ajang “bancakan” para kepala daerah di Papua? Mengapa kebobrokkan itu dibiarkan lama dan baru sekarang diungkap?

Begitu ringan tangan sekali Pak Gubernur Lukas Enembe membeli jam tangan seharga Rp 550 juta sementara ribuan warganya masih melarat.

Akan lebih elegan jika Wakil Ketua DPRD Depok Tajudi Tabri, Kepala Satpol PP Pemkot Bekasi, atau Gubernur Papua Lukas Enembe mundur untuk mempertanggungjawabkan “kekuasaan” yang telah dijalankannya.

Mereka menyelesaikan perkara yang membelit sembari memaknai kembali amanah yang diberikan rakyat untuk menjalankan kekuasaan.

KPK demi mengamankan uang rakyat seharusnya berani dan tidak berkompromi (terus) dengan kepongahan kekuasaan-kekuasaan elite lokal yang kerap “membajak” aspirasi rakyat.

Tidak ada lagi “karpet merah” untuk para penggangsir uang rakyat dan elite yang telah mempermainkan kekuasaan. Saya khawatir, jika KPK terlalu buying time dan permisif terhadap penggangsir uang rakyat maka saat akan diambil “paksa” maka yang bersangkutan sudah “hijrah” ke negara tetangga.

Lukas Enembe harus diyakinkan para pengacaranya akan kalimat bijak yang pernah diucapkan pendiri Muhammadiyah Muhammad, Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan.

“Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan oleh berapa banyaknya orang yang mempercayainya.” – KH Ahmad Dahlan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Nasional
Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Nasional
Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Nasional
Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Nasional
PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

Nasional
Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Nasional
Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Nasional
Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Nasional
Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Nasional
Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasional
Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Nasional
Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com