Harus dipahami, kenyataan di saat ini dan telah berlangsung sejak zaman dulu, kekuasaan itu begitu arogan. Kekuasaan membuat berjarak antara pemegang kekuasaan dengan kawulo alit apalagi rakyat jelata. Kekuasaan itu begitu wangi dan harus disembah oleh wong cilik.
Karena kekuasaan diperoleh dengan kesulitan tingkat tinggi, menjadi anggota dewan harus “menyogok” rakyat dengan serangan fajar di pemilu; menjadi jenderal harus menghalalkan segala cara sejak masuk pendidikan; mendapat jabatan kepala dinas harus “setoran” ke kepala dinas atau menjadi hakim agung harus “menggadaikan” integritas ke sponsor. Maka, jangan berharap untuk melihat kekuasaan berwajah kerakyatan.
“Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.” – Miriam Budiarjo.
Andai saja sang wakil rakyat yang berjiwa militeristik tersebut sempat mengikuti perkuliahan “Pengantar Ilmu Politik” dari mendiang Profesor Miriam Budiarjo di Kampus Universitas Indonesia (UI), pasti akan berpikir ulang untuk menggunakan kekuasaan dengan pongah.
Kekuasaan tidak harus ditampilkan dengan arogan dan congkak. Jika teori kekuasaan begitu berkelindan indah dalam pandangan pakar tetapi wajah kekuasaan yang tengik dan tidak membela nasib rakyat jelata terus bermunculan di Tanah Air.
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, 70 bangunan liar yang digunakan warga untuk berdagang ditertibkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Bekasi. Bangunan liar tersebut terpaksa dibongkar karena mengganggu pemanfaatan ruang terbuka di bantaran Kali Jati, Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan.
Anehnya ada empat “markas” organisasi kemasyarakatan (ormas) yang “kebal” dari program penggusuran, padahal sama dengan 70 bangunan liar yang lain, bediri di pinggir kali (Kompas.com, 23/09/2022).
Tentu saja, aksi tebang pilih Satpol PP Pemkot Bekasi tidak bisa diterima dengan nalar keadilan warga yang tergusur. Begitu pilih kasih dan pilih “gusur” karena pemerintah lokal begitu memberi “karpet” merah untuk ormas, sementara untuk warga yang berjibaku mencari rezeki halal harus disingkirkan.
Alasan Satpol PP Pemkot Bekasi pun terkesan “mengada-ada” ketika para korban gusuran mempertanyakan mengapa “markas” ormas kebal dari gusuran di saat lapak untuk berdagang harus ditiadakan?
Dengan alasan Pemkot Bekasi harus melakukan mediasi terlebih dahulu dengan ormas sehingga keberadaan “markas” ormas untuk sementara tidak digusur. Terlihat, betapa wibawa pemerintah lokal sangat tidak ada artinya dengan ormas.
Sementara dengan pedagang kecil, wajah “kekuasaan” Pemkot Bekasi begitu bertaji. Harus bisa dipahami, entitas negara sebagai sesuatu yang mutlak adanya selama ini diterima sebagai konstruksi yang tidak terbantahkan karena keberadaan negara tidak disadari secara penuh oleh manusia.
Negara bisa disadari keberadaannya ketika menyentuh level perorangan dan ketika berbenturan dengan kekuasaan. Justru hadirnya kekuasaan negara dalam berbagai bentuk namun bukan sebagai representasi kepentingan rakyat maka keberadaannya akan berbenturan dengan kekuasaan rakyat yang dimainkan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai representasi rakyat.
Di sinilah kekuasaan kemudian “bermain” dan negosiasi atas kekuasaan berjalan sehingga akan ditemukan siapa sesungguhnya yang memiliki kekuasaan lebih besar antara negara dan rakyat.
Kasus pembongkaran rumah Undang (47) warga Kampung Haurseah, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat oleh renternir menjadi pembelajaran ketika kekuasaan “informal” mengangkangi kekuatan permodalan resmi.
Andai saja pihak Pemkab Garut atau lembaga-lembaga keuangan resmi menjalankan fungsinya dengan benar, tentu nasib Undang yang berutang ke rentenir sebesar Rp 1,3 juta dengan tanggungan bunga Rp 350 ribu per bulan tidak seenaknya dibebani dengan ketidakwajaran (Kompas.com, 18/09/2022).