Semakin besar angka kemiskinan menyebabkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan semakin rendah, sehingga angka IPM rendah.
Pengalaman Singapura membuktikan bahwa IPM yang tinggi adalah penentu utama kemajuan bangsa.
Singapura merupakan negara terkaya di ASEAN dengan pendapatan per kapita 65.174 dollar AS (sekitar Rp 971 juta) atau 15 kali lipat dibandingkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia 4.350 dollar AS (sekitar Rp 65 juta).
Data IPM Singapura tahun 2020 menempati urutan nomor satu di ASEAN, nomor dua di Asia dan nomor 11 di dunia. Sedangkan IPM Indonesia pada urutan nomor lima di ASEAN, nomor 26 di Asia, dan nomor 107 di dunia.
Ketiga, ketahanan pangan. Menurut data Global Food Security Index (GFSI) indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 mencapai level 59,2, menurun dari 61,5 tahun 2020.
Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara dan masuk dalam kategori ketiga moderate performance.
Indeks ketahanan pangan berpotensi mengalami penurunan seiring kenaikan harga pangan strategis, baik temporer maupun permanen, mulai 25 persen sampai lebih dari 100 persen sejak akhir tahun 2021.
Kenaikan harga pangan juga dirasakan di seluruh dunia. Data FAO Food Price Index (FFPI) pada Februari 2022 menyentuh angka 140,7 atau naik 3,9 persen dari torehan Januari dan lebih tinggi 20,7 persen secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan harga pangan global berpotensi meningkat hingga 20 persen menuju akhir tahun 2022.
Konsekuensinya, harga kebutuhan pangan pokok dalam negeri akan terkerek naik mengikuti fluktuasi harga pangan di pasar dunia.
Kenaikan harga pangan berdampak terhadap peningkatan kemiskinan. Hasil kajian Faharudin (2020) menyebutkan kenaikan harga 5 persen lima kelompok pangan menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin berturut-turut sebesar 0,124 poin (beras), 0,111 poin (ikan segar), 0,050 poin (sayuran), 0,042 poin (buah-buahan), dan 0,289 poin (pangan lainnya).
Kenaikan harga 15 persen masing-masing kelompok komoditas makanan menyebabkan meningkatnya persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,581 poin (beras), 0,386 poin (ikan segar), 0,124 poin (sayuran), 0,124 (buah-buahan), dan 2,095 poin (pangan lainnya).
Hasil penelitian Yuliana dkk. (2019) menyebutkan kenaikan harga pangan menurunkan tingkat kesejahteraan rumah tangga sebesar 6,53 persen atau setara Rp 227.908 per bulan.
Kenaikan harga pangan juga menyebabkan penurunan konsumsi pangan. Elastisitas harga sendiri pada kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu dan kacang-kacangan/minyak bersifat elastis, masing-masing memiliki nilai 1,102 dan 1,094 (Mayasari dkk, 2018).
Artinya, jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan merespons dengan menurunkan permintaan lebih dari 1 persen.
Pada kelompok komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, minyak/kacang-kacangan dan pangan lainnya bersifat inelastis (bernilai kurang dari 1), yang berarti jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan merespons dengan menurunkan permintaan kurang dari 1 persen.
Peningkatan kemiskinan dan penurunan konsumsi pangan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan prevalensi stunting dan kerawanan pangan di Indonesia.
Penyelesaian ketiga masalah bangsa tersebut sangat menentukan keberhasilan visi “Indonesia Emas 2045”. Visi “Indonesia Emas 2045” juga bisa dipandang sebagai sebuah pertandingan yang pemenang pertamanya mendapat hadiah “Medali Emas”.
Jika dalam jangka waktu 23 tahun dari sekarang, ketiga masalah tersebut tidak teratasi, maka visi “setinggi langit Indonesia Emas 2045” akan kembali “jatuh di antara bintang-bintang”, bahkan “terjerembab ke atas bukit”.
Visi Indonesia Emas pun berpotensi mengalami degradasi menjadi Indonesia Perak, Indonesia Perunggu, bahkan Indonesia Batu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.