BKKBN menyebutkan sebanyak 1,2 juta (24 persen) di antara 5 juta kelahiran setiap tahun dalam kondisi stunting yang diukur melalui ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badan tidak sampai 2,5 kilogram.
Jumlah prevalensi stunting di Indonesia tahun 2021 sebanyak 5,33 juta balita (24,4 persen). Angka ini lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan WHO, yaitu kurang dari 20 persen jumlah balita.
Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17) dan Thailand (16).
WHO menempatkan status Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait jumlah balita stunting.
Penurunan prevalensi stunting merupakan program super prioritas pemerintah dengan target 3-3,5 persen setiap tahun, sehingga maksimum 14 persen pada tahun 2024.
Stunting adalah masalah kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang lama yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik anak, sehingga tinggi badannya lebih pendek dari standar usianya.
Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, di mana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif.
Dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental dan rendahnya kemampuan belajar, sehingga mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan bekerja dengan pendapatan lebih baik.
Anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain.
Stunting juga diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan.
Kedua, kemiskinan. BPS (2021) mencatat angka kemiskinan prapandemi pada September 2019 sebesar 24,78 juta orang (9,22 persen) meningkat menjadi 26,50 juta orang (9,71 persen) pada September 2021.
Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK).
BPS menetapkan GK masing-masing Rp 440.538 (September 2019) menjadi, Rp 486.168 (September 2021) per kapita per bulan.
Di antara jumlah penduduk miskin, terdapat penduduk yang tergolong miskin ekstrem. Kemiskinan ekstrem adalah sejenis kemiskinan yang didefinisikan oleh PBB sebagai suatu kondisi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi.
Indikator kemiskinan ekstrem adalah penduduk yang berpendapatan di bawah 1,91 dollar AS PPP (purchasing power parity) per kapita per hari (setara Rp 9.089 per hari).
PPP didefinisikan sebagai jumlah unit mata uang yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa yang umum yang dapat dibeli oleh satu unit mata uang umum/referensi.
Berdasarkan indikator tersebut, di Indonesia terdapat penduduk miskin ekstrem sebanyak 4 persen (10.865.279 jiwa).
Bayangkan, pada peringatan 77 tahun kemerdekaan, masih ada 10,865 juta penduduk Indonesia yang pengeluarannya kurang dari Rp 10.000.
Sepuluh ribu rupiah hanya cukup untuk membeli 1 kilogram beras kualitas standar, atau 6 butir telur, bahkan tidak cukup untuk membeli 1 liter minyak goreng.
Angka kemiskinan berhubungan negatif dengan kualitas sumber daya manusia yang diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Hasil penelitian Maulana dkk. (2022) menunjukkan kenaikan kemiskinan sebesar satu persen menurunkan IPM sebesar 0,34 persen.