Dengan demikian, urusan kedisabilitasan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial, melainkan juga tanggung jawab kementerian dan lembaga lain.
Walaupun regulasi (peraturan perundangan), pelaksana (pemerintah pusat/daerah) dan pengawas (KND) sudah ada, belum tentu masalah yang dialami penyandang disabilitas akan segera sirna.
Beberapa hal berikut perlu mendapat penekanan untuk tercapainya tujuan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Pertama, kepada masyarakat luas, dunia usaha dan instansi pemerintah perlu ada penyadaran bahwa penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi.
Misalnya, diharapkan tidak ada lagi lowongan pekerjaan yang menolak penyandang disabilitas. Ada kewajiban afirmatif yang harus dipatuhi, yaitu menyediakan minimal dua persen pada instansi pemerintah (termasuk BUMN/BUMD) dan satu persen pada perusahaan swasta dari seluruh jumlah pegawai untuk diisi oleh penyandang disabilitas.
Hal itu tentu bukan perkara mudah karena untuk itu fasilitas fisik bagi penyandang disabilitas perlu tersedia agar mereka bisa melaksanakan pekerjaannya.
Namun itu tidak harus menjadi hambatan. Banyak hal bisa dilakukan dengan bekerja sama dan pelaksanaannya dilakukan setahap demi setahap.
Kedua, fasilitas umum dan pelayanan publik perlu dirancang untuk memudahkan penyandang disabilitas mendapatkan hak-haknya.
Sekolah, rumah sakit, terminal, trotoar, pasar dan sebagainya perlu ramah terhadap penyandang disabilitas.
Berbagai alat bantu, konvensional maupun digital, perlu diproduksi lebih banyak. BRIN dan perguruan tinggi jangan sampai lupa memikirkan hal ini.
Ketiga, perlu penguatan koordinasi agar pekerjaan besar untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dapat terlaksana dengan efektif.
UUPD menetapkan Kementerian Sosial sebagai instansi pengkoordinasi (pasal 129). Dalam praktiknya hal ini tidak mudah dilakukan, karena banyak kementerian/lembaga pemerintah yang perlu terlibat.
Sebagai solusi, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 menugaskan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas untuk menyusun sistem perencanaan kedisabilitasan.
Setiap tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) diwajibkan untuk menyusun Rencana Induk Penyandang Disabilitas (25 tahun), yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Aksi Penyandang Disabilitas (lima tahun).
Dengan berpedoman pada Rencana Aksi itu, pemerintah pada setiap tingkat tingkatan menyusun rencana kegiatan tahunan untuk dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait.
Pada tahap ini, data tentang kondisi yang dihadapi penyandang disabilitas pada tingkat mikro dan aspirasi mereka menjadi bahan penting untuk merencanakan upaya yang akan dilakukan oleh semua instansi terkait secara terpadu.
Tercapainya tujuan ini selaras dengan misi pemerintah mewujudkan pembangunan nasional yang inklusif. Ini pula yang sekarang sedang digencarkan oleh PBB dengan program besarnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG).
Kita berharap, pada tahun 2024 nanti Presiden Jokowi melaporkan kemajuan yang signifikan secara terukur tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan UUPD.
Penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Jika mereka susah, maka seluruh masyarakat juga merasa susah. Inilah wujud pembangunan inklusif yang kita cita-citakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.