Tuntutan terhadap penguasaan kompetensi atas sebuah profesi makin disuarakan. Akibat riilnya di Polri: sebagai profesi, pindah pos penugasan tak bisa lagi ‘seenak udel’ para komandan, personel yang bersangkutan mesti lulus asesmen lebih dahulu, alias kompeten.
Mengulik Pasal 10 Ayat (1) Perpres 8/2012 tentang KKNI/Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia telah jelas di situ bahwa penerapan kompetensi adalah wajib di semua sektor yang telah ada, termasuk pada profesi TNI/Polri, wartawan, medis, advokat, konstruksi dan lainnya.
Meskipun dalam tataran pelaksanaannya masih ada yang menggunakan lembaga/asosiasi/ standardisasi sendiri-sendiri, namun payung hukum pokoknya sudah jelas. Bahkan tata kelembagaan Lemdikpol Polri juga mengacu pada Perpres ini.
Dus, sebagai asesor adalah seseorang yang pasti pernah belajar-diuji-menguji, bahkan mengajar tentang kompetensi.
Mengacu pada poin 3.11 di Pedoman 201 BNSP, kompetensi adalah kemampuan sikap kerja individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Dalam banyak rumusan di kamus maupun peraturan di kelembagaan kompetensi/akreditasi lainnya juga termaktub istilah kompetensi yang bermuatan plus minus sama, yakni mencakup tiga aspek.
Dalam penyelenggaraan pembelajaran hingga proses uji kompetensi, hanya dua aspek yang ‘dijamin’ dan lancar jaya, karena tersuratkan: pengetahuan dan keterampilan.
Sedangkan aspek sikap kerja adalah ‘barang gelap’ yang bisa terlihat ‘oke’, karena hanya berupa wujud tersirat, abstraktif.
Hanya berupa petunjuk-petunjuk yang bisa ditangkap asesor terhadap asesinya. Tak ada yang dapat menjamin, sikap kerja yang ditunjukkan asesi saat diuji akan konstan manakala jadi praktisi.
Tak mudah untuk selalu presisi. Nyatanya, nawaitu-komitmen-konsistensi lah yang benar-benar akan mendukung sikap kerja tadi mewujud menjadi profesionalitas.
Sekarang mari kita menilik para perwira di tubuh Polri saat ini. Mereka adalah person terpilih yang lulus dari AKABRI (kini AKPOL) – PTIK – Sespimmen – Sespati (kini Sespimti)/ Lemhanas.
Kapolri adalah out come Lemhanas (jalan alternatif menjadi jenderal selain Sespimti Polri). Pada sistem non regular ada secapa – selapa hingga PPSS/ Perwira Polisi Sumber Sarjana (kini SIPSS).
Artinya, (1) tiap perwira Polri adalah hasil tempaan kawah candradimuka kependidikan yang mana dalam penyelenggaraan pembelajarannya telah terstandar, baik yang mengacu kepada SKKNI/ standar khusus, ataupun kurikulum-silabus-modul di tiap lembaga.
Kemudian, (2) di dalam perjalanan penugasan, termasuk segala dinamikanya, minimal pamen ke atas adalah sosok yang berkemungkinan besar pernah menjadi analis, widyaiswara, pengajar bahkan asesor (seperti halnya Kombespol Budhi tadi) yang bersinggungan, bahkan berkelindan dengan kompetensi, baik pada lembaga-lembaga kependidikan di tubuh Polri maupun non Polri. Itu sudah jamak terjadi.
Ironisnya, posisi dalam kepengajaran itu rerata enggan dicantumkan dalam riwayat hidup terpublisitas, karena dianggap tidak mentereng.
Atau, sebagai bagian riwayat ‘pengkotakkan’. Dan, menyibak track record 10 pati dan pamen yang dimutasi ke Yanmabes Polri tadi, mereka semua pernah mengajar/bagian asesmen.
Bahkan penugasan perdana seorang Ferdy Sambo adalah di Lemdiklat Polri! Sebuah fakta fenomena yang bikin mengelus dada.
Lantas, apa penyebab tragedi itu terjadi? Dalam kacamata kompetensi, sikap kerja yang pegang peranan.
Ada banyak faktor yang memengaruhi: mental/ moral/ psikologis/keyakinan (sebagai tanda batin, bukan agama, karena ini bukan tulisan tentang SARA) dan lain sebagainya. Termasuk kemungkinan konflik-konflik internal di Polri. ‘Dunia persilatan’, istilahnya. Semua itu dapat mengkristal menjadi moral hazard. Dampaknya bisa mengerikan.