Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Achmad Dhofir
Asesor BNSP, Master PTK KADIN & KemNaker RI

Asesor BNSP, Master PTK KADIN & Kementerian Tenaga Kerja RI

Profesionalitas Kompetensi dalam Dekapan Moral Hazard

Kompas.com - 21/08/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada institusi sebesar Polri penyebab moral hazard bisa berupa hutang budi (terkait penunjukan naik pangkat/jabatan) baik internal atau eksternal/ dari luar organisasi, perintah langsung komandan (seringkali berupa lisan, yang sialnya merupakan dari sosok berwatak buruk, atau bertopeng), keinginan/ambisi pribadi, mengeliminasi ‘saingan’, dan hal lainnya, yang mana dalam titik tertentu seseorang sangat sulit menghindarinya. Bahkan untuk menerapkan diskresi sekalipun.

Seperti halnya adab/akhlak mendahului ilmu, mestinya kompetensi mendahului profesi. Dan itu sebenarnya sudah berjalan dengan baik di lingkup Polri.

Rerata sebelum meraih pangkat dan/atau jabatan tertentu, seorang anggota Polri diwajibkan menjalani pendidikan tertentu, baik secara umum maupun khusus.

Masalahnya, dalam kegiatan pembelajaran hingga uji kompetensi/uji kependidikan tersebut, kembali soal moral hazard melingkupi, entah berupa penjokian pembuatan naskah/materi makalah-skripsi-tesis-disertasi.

Penyebabnya, paling sering berdalih keterbatasan waktu, antara konsentrasi menempuh pendidikan dengan tupoksi yang sedang diembannya.

Ya, maksud utama dari penulisan ini, bilamana pelaksanaan sistem-sistem kompetensi berparalel dengan konsep moralitas yang masih tak sinkron bak memelihara bom waktu. Ibarat memandang sebuah buku skripsi: ada abstraksi, ada substansi.

Meski abstrak, abstraksi adalah hal terkonsep, baru kita bisa masuk substansi. Kelemahan sistem kompetensi saat ini adalah tidak didahului dengan abstraksi yang terkonsep itu. Langsung hajar saja.

Akibatnya, sama seperti ketika kita memandang seseorang berilmu, tapi tanpa akhlak. Itulah yang terjadi.

Guna memulai proses solusi, ada baiknya (1) para praktisi kompetensi mengkaji kembali ISO 17024:2012 tentang Person yang menjadi acuan kompetensi di negeri ini. Termasuk ISO 30414:2018 yang telah menjadi pengembangannya.

Kemudian ada UU 20/2014 tentang SPK/Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang mesti diadaptasi kembali.

Karena sejatinya, sebelum seseorang dinyatakan layak pegang profesi (melalui kompetensi), apakah dia sudah sebagai person yang layak/siap untuk nantinya menyandang profesi (melalui uji person/ wawasan kebangsaan/ beragam metode uji lainnya).

Berikutnya, (2) setiap institusi (TNI/ Polri/ ASN/ swasta) sebaiknya merevitalisasi fungsi-fungsi pembinaan rohani dan mental.

Itu penting dalam menyikapi dinamika penugasan. Sekali lagi persoalannya, personel institusi di fungsi ini sering dianggap orang-orang buangan juga, seperti halnya yang ‘ngepos’ di fungsi pengajaran tadi.

Padahal harusnya orang terbaik (yang kemudian berbagi pengalaman) yang ada di sini. Kembali ironi terlihat, bukankah di waktu kita kecil, para orangtua ingin orang-orang terbaiklah yang membina-membimbing menjadi guru kita?

Laiknya, bahaslah adab lebih dahulu, baru bahas ilmu. Maka bahaslah nilai-nilai person lebih dahulu, baru bahas kompetensi.

Dari sinilah bibit profesionalitas akan terbentuk, dibarengi nawaitu. Lebih bersyukur, dapat lepas dari dekapan moral hazard selama ini. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com