Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Achmad Dhofir
Asesor BNSP, Master PTK KADIN & KemNaker RI

Asesor BNSP, Master PTK KADIN & Kementerian Tenaga Kerja RI

Profesionalitas Kompetensi dalam Dekapan Moral Hazard

Kompas.com - 21/08/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA tergidik saat menyaksikan melalui kanal streaming Kabareskrim Komjen Agus Andrianto mengumumkan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka perencana atas peristiwa kematian Brigpol Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Mantan Wadirreskrimum Polda Metro Jaya itu dijerat Pasal 340 KUHPidana dengan ancaman hukuman mati terkait drama ‘penembakan’ yang terjadi di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta.

Selanjutnya, ‘bedol desa’ dilakukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang untuk hal itu, perlu ditemani hingga 10 jenderal Polri guna menyiratkannya. Dan tersurat kemudian.

Menegakkan hukum terhadap kolega sendiri, bukanlah perkara mudah. Ada ‘esprit de corps’ yang berlaku.

Apalagi kolega yang dimaksud, konon kabarnya adalah bakal calon Kapolri, yang mana Kapolri sekarang pun juga pernah menjabat Kadiv Propram.

Sepintas, ada pembinaan suksesor di situ, sebelum suksesi selajutnya pada jabatan Kabareskrim ke Kapolri (setelah menjabat Kapolda lebih dahulu). Dalam manajerial perusahaan/organisasi, ini ‘program suksesi’ yang berantakan.

Di malam nan bersejarah kemarin, benak saya melanglang ke medio 2002 saat masih ngepos di Polda Jatim yang dikomandoi Irjenpol Sutanto (mantan Kapolri 2005-2008), kala Kompol Agus Andrianto menjabat Kasubbag Binops Bag Serse Ekonomi dan Umum.

Dia tergolong perwira yang tegas menindak para pelaku kejahatan. Intinya, tiada ampun bagi penjahat.

Lucunya, sikap serupa juga dikoarkan Irjen Pol Sambo, bahwa jikalau ada anggota Polri yang nakal bin bengal: dipecat.

Itu baru nakal (pelanggaran), bagaimana bagi yang bertaraf penjahat? Bukankah pembunuhan adalah kejahatan yang serius?

Kembali ke topik, sesuai telegram rahasia Kapolri Nomor: 1628/VIII/KEP/2022 terdapat 10 pati dan pamen dari total 25 polisi yang dimutasi, akibat dugaan tidak profesional dalam menangani kasus Brigadir J tewas.

Padahal mereka kompeten, faktanya mereka berseragam penegak hukum hingga belasan-berpuluh tahun.

Menariknya, nama Kapolres Jaksel Kombes Pol Budhi Herdi Susianto turut dalam gerbong mutasi tersebut.

Apanya yang menarik? Dia pernah menjadi Asesor Utama di Bagkompeten Robinkar SSDM Polri 2016-2019.

Sebagai asesor, Kombespol Budhi tentu pernah terlibat dalam segala proses asesmen, yang mesti dilakoni setiap anggota Polri hingga dinyatakan kompeten, agar bisa menjalankan tugas secara profesional.

Atas dasar kompeten itulah, seseorang dinyatakan layak menjadi anggota Polri, memakai seragam, menyandang pangkat-jabatan-tupoksi sampai senjata. Lantas dari pelaksanaan profesionalitas kompetensi ini, apa yang salah?

Pascareformasi republik ini bergiat mengembangkan tata SDM yang lebih terkelola. Selain pengembangan Good Governance Service, juga menyikapi arus globalisasi.

Sesuai UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 20/2003 tentang Sisdiknas, sistem-sistem kompetensi dibentuk.

Lembaga-lembaga kompetensi dibangun: BNSP melalui Kemnaker, BSNP melalui Kemdikbud (serta Ristek kini), Lemdikpol di Polri, dan banyak lainnya.

Tuntutan terhadap penguasaan kompetensi atas sebuah profesi makin disuarakan. Akibat riilnya di Polri: sebagai profesi, pindah pos penugasan tak bisa lagi ‘seenak udel’ para komandan, personel yang bersangkutan mesti lulus asesmen lebih dahulu, alias kompeten.

Mengulik Pasal 10 Ayat (1) Perpres 8/2012 tentang KKNI/Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia telah jelas di situ bahwa penerapan kompetensi adalah wajib di semua sektor yang telah ada, termasuk pada profesi TNI/Polri, wartawan, medis, advokat, konstruksi dan lainnya.

Meskipun dalam tataran pelaksanaannya masih ada yang menggunakan lembaga/asosiasi/ standardisasi sendiri-sendiri, namun payung hukum pokoknya sudah jelas. Bahkan tata kelembagaan Lemdikpol Polri juga mengacu pada Perpres ini.

Dus, sebagai asesor adalah seseorang yang pasti pernah belajar-diuji-menguji, bahkan mengajar tentang kompetensi.

Mengacu pada poin 3.11 di Pedoman 201 BNSP, kompetensi adalah kemampuan sikap kerja individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Dalam banyak rumusan di kamus maupun peraturan di kelembagaan kompetensi/akreditasi lainnya juga termaktub istilah kompetensi yang bermuatan plus minus sama, yakni mencakup tiga aspek.

Dalam penyelenggaraan pembelajaran hingga proses uji kompetensi, hanya dua aspek yang ‘dijamin’ dan lancar jaya, karena tersuratkan: pengetahuan dan keterampilan.

Sedangkan aspek sikap kerja adalah ‘barang gelap’ yang bisa terlihat ‘oke’, karena hanya berupa wujud tersirat, abstraktif.

Hanya berupa petunjuk-petunjuk yang bisa ditangkap asesor terhadap asesinya. Tak ada yang dapat menjamin, sikap kerja yang ditunjukkan asesi saat diuji akan konstan manakala jadi praktisi.

Tak mudah untuk selalu presisi. Nyatanya, nawaitu-komitmen-konsistensi lah yang benar-benar akan mendukung sikap kerja tadi mewujud menjadi profesionalitas.

Sekarang mari kita menilik para perwira di tubuh Polri saat ini. Mereka adalah person terpilih yang lulus dari AKABRI (kini AKPOL) – PTIK – Sespimmen – Sespati (kini Sespimti)/ Lemhanas.

Kapolri adalah out come Lemhanas (jalan alternatif menjadi jenderal selain Sespimti Polri). Pada sistem non regular ada secapa – selapa hingga PPSS/ Perwira Polisi Sumber Sarjana (kini SIPSS).

Artinya, (1) tiap perwira Polri adalah hasil tempaan kawah candradimuka kependidikan yang mana dalam penyelenggaraan pembelajarannya telah terstandar, baik yang mengacu kepada SKKNI/ standar khusus, ataupun kurikulum-silabus-modul di tiap lembaga.

Kemudian, (2) di dalam perjalanan penugasan, termasuk segala dinamikanya, minimal pamen ke atas adalah sosok yang berkemungkinan besar pernah menjadi analis, widyaiswara, pengajar bahkan asesor (seperti halnya Kombespol Budhi tadi) yang bersinggungan, bahkan berkelindan dengan kompetensi, baik pada lembaga-lembaga kependidikan di tubuh Polri maupun non Polri. Itu sudah jamak terjadi.

Ironisnya, posisi dalam kepengajaran itu rerata enggan dicantumkan dalam riwayat hidup terpublisitas, karena dianggap tidak mentereng.

Atau, sebagai bagian riwayat ‘pengkotakkan’. Dan, menyibak track record 10 pati dan pamen yang dimutasi ke Yanmabes Polri tadi, mereka semua pernah mengajar/bagian asesmen.

Bahkan penugasan perdana seorang Ferdy Sambo adalah di Lemdiklat Polri! Sebuah fakta fenomena yang bikin mengelus dada.

Lantas, apa penyebab tragedi itu terjadi? Dalam kacamata kompetensi, sikap kerja yang pegang peranan.

Ada banyak faktor yang memengaruhi: mental/ moral/ psikologis/keyakinan (sebagai tanda batin, bukan agama, karena ini bukan tulisan tentang SARA) dan lain sebagainya. Termasuk kemungkinan konflik-konflik internal di Polri. ‘Dunia persilatan’, istilahnya. Semua itu dapat mengkristal menjadi moral hazard. Dampaknya bisa mengerikan.

Pada institusi sebesar Polri penyebab moral hazard bisa berupa hutang budi (terkait penunjukan naik pangkat/jabatan) baik internal atau eksternal/ dari luar organisasi, perintah langsung komandan (seringkali berupa lisan, yang sialnya merupakan dari sosok berwatak buruk, atau bertopeng), keinginan/ambisi pribadi, mengeliminasi ‘saingan’, dan hal lainnya, yang mana dalam titik tertentu seseorang sangat sulit menghindarinya. Bahkan untuk menerapkan diskresi sekalipun.

Seperti halnya adab/akhlak mendahului ilmu, mestinya kompetensi mendahului profesi. Dan itu sebenarnya sudah berjalan dengan baik di lingkup Polri.

Rerata sebelum meraih pangkat dan/atau jabatan tertentu, seorang anggota Polri diwajibkan menjalani pendidikan tertentu, baik secara umum maupun khusus.

Masalahnya, dalam kegiatan pembelajaran hingga uji kompetensi/uji kependidikan tersebut, kembali soal moral hazard melingkupi, entah berupa penjokian pembuatan naskah/materi makalah-skripsi-tesis-disertasi.

Penyebabnya, paling sering berdalih keterbatasan waktu, antara konsentrasi menempuh pendidikan dengan tupoksi yang sedang diembannya.

Ya, maksud utama dari penulisan ini, bilamana pelaksanaan sistem-sistem kompetensi berparalel dengan konsep moralitas yang masih tak sinkron bak memelihara bom waktu. Ibarat memandang sebuah buku skripsi: ada abstraksi, ada substansi.

Meski abstrak, abstraksi adalah hal terkonsep, baru kita bisa masuk substansi. Kelemahan sistem kompetensi saat ini adalah tidak didahului dengan abstraksi yang terkonsep itu. Langsung hajar saja.

Akibatnya, sama seperti ketika kita memandang seseorang berilmu, tapi tanpa akhlak. Itulah yang terjadi.

Guna memulai proses solusi, ada baiknya (1) para praktisi kompetensi mengkaji kembali ISO 17024:2012 tentang Person yang menjadi acuan kompetensi di negeri ini. Termasuk ISO 30414:2018 yang telah menjadi pengembangannya.

Kemudian ada UU 20/2014 tentang SPK/Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang mesti diadaptasi kembali.

Karena sejatinya, sebelum seseorang dinyatakan layak pegang profesi (melalui kompetensi), apakah dia sudah sebagai person yang layak/siap untuk nantinya menyandang profesi (melalui uji person/ wawasan kebangsaan/ beragam metode uji lainnya).

Berikutnya, (2) setiap institusi (TNI/ Polri/ ASN/ swasta) sebaiknya merevitalisasi fungsi-fungsi pembinaan rohani dan mental.

Itu penting dalam menyikapi dinamika penugasan. Sekali lagi persoalannya, personel institusi di fungsi ini sering dianggap orang-orang buangan juga, seperti halnya yang ‘ngepos’ di fungsi pengajaran tadi.

Padahal harusnya orang terbaik (yang kemudian berbagi pengalaman) yang ada di sini. Kembali ironi terlihat, bukankah di waktu kita kecil, para orangtua ingin orang-orang terbaiklah yang membina-membimbing menjadi guru kita?

Laiknya, bahaslah adab lebih dahulu, baru bahas ilmu. Maka bahaslah nilai-nilai person lebih dahulu, baru bahas kompetensi.

Dari sinilah bibit profesionalitas akan terbentuk, dibarengi nawaitu. Lebih bersyukur, dapat lepas dari dekapan moral hazard selama ini. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com