JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, sudah semestinya Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) bertanggung jawab penuh terhadap korban dan saksi yang akan bersaksi di persidangan dalam kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua.
Sebab, lokasi persidangan nantinya berada di Makassar, Sulawesi Selatan yang jauh dari lokasi peristiwa pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Belum Lindungi Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat Paniai, Ini Penjelasan LPSK
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin dalam diskusi publik di Mercure Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2022).
"Karena ini lokasi (persidangan) dan tempat peristiwa jaraknya jauh (dari lokasi persidangan), jika hakim membutuhkan kesaksian hadir secara fisik, siapa yang bertanggung jawab sejak dari awal menghadirkan saksi itu di depan majelis hakim?" kata Amiruddin.
"Karena ada konsekuensinya dari jarak begitu jauh, yaitu biaya, siapa yang membiayai? tentu ini tantangan LPSK. Supaya korban yang akan bersaksi, atau saksi itu sendiri tidak terbebani secara psikologis untuk menghadiri panggilan psikologis," ujar dia.
Menurut Amiruddin, jangan sampai korban pelanggaran HAM berat semakin terbebani dengan tempat persidangan yang sudah ditetapkan jauh dari lokasi para korban.
Sudah semestinya para korban dan saksi peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi delapan tahun lalu ini bisa difasilitasi dengan cara yang layak.
"Kalau tidak dari awal, dia akan terbebani secara psikologis, ongkosnya dari mana, sampai di lokasi mau tidur gimana?" ucap Amiruddin.
Baca juga: Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Dinilai Kuatkan Impunitas
Perlindungan LPSK mutlak diperlukan agar korban bisa mendapatkan keadilan dan bersaksi dengan sebenar-benarnya apa yang pernah mereka rasakan.
Penuntasan kasus Paniai ini, kata Amiruddin, menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM di Indonesia.
"Pengadilan ini bukan sekadar memutuskan vonis kepada seseorang, tetapi juga mengembalikan pemulihan pada harkat dan martabat manusia dari mereka yang menjadi korban," ucap dia.
Pada 2020, Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Peristiwa tersebut terjadi pada 8 Desember 2014 yang menyebabkan empat orang tewas dan 21 lainnya luka-luka akibat penganiayaan.
Peristiwa itu diawali dari kesalahpahaman antar warga Paniai dengan aparat TNI. Sebanyak 11 Orang mengalami tindak penganiayaan.
Warga kemudian melakukan protes di sekitar lapangan Karel Gobay dan mendapatkan reaksi berlebihan dari TNI dan Polri dengan memberedel korban menggunakan senjata api.
Dari penembakan tersebut empat orang dinyatakan tewas, Komnas HAM kemudian melakukan penyelidikan dan merilis hasil penyelidikan pada Februari 2020 dan menetapkan peristiwa pembunuhan itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Setelah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, Kejaksaan Agung melalui SK Nomor 267 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai.
Hasil penyidikan menetapkan IS sebagai terdakwa dalam peristiwa tersebut. IS disebut sebagai perwira penghubung di Komando Distrik Militer Paniai saat peristiwa terjadi.
Sidang kasus tersebut nantinya akan digelar Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.
Selain menentukan lokasi sidang, Mahkamah Agung juga sudah melatih delapan hakim ad hoc untuk memimpin jalannya persidangan HAM nanti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.