Menurut Mahkamah, pelarangan aktivitas bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan negara.
Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya dapat melaksanakan kewajiban tersebut, tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan warga negara hidup bergelandangan.
Dengan demikian, sama sekali tidak dibenarkan bagi siapapun untuk bergelandangan dengan alasan negara belum melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Dengan membaca argumentasi hukum tersebut, sulit untuk mengatakan bahwa argumentasi Mahkamah Konstitusi didasarkan pada semangat pembentuk UUD 1945.
Sebab, kalau kita membaca risalah perdebatan pada waktu dirumuskannya Pasal 34 UUD 1945, semangat mendirikan negara welfare state hadir di antara peserta sidang.
Salah satu semangat itu dapat dirujuk dari lontaran komentar Harjono dari Fraksi PDIP terhadap Pasal 34 UUD 1945.
Di hadapan peserta sidang, ia mengatakan: "tetapi apapun penyesuaiannya, menurut saya kewajiban negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat merupakan suatu kebutuhan bagi sebuah pemerintahan di mana akan tercipta welfrare state."
Di dalam Buku VII Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, konsep welfare state bermakna bahwa individu-individu seperti penyandang cacat, fakir miskin, pengangguran, gelandangan atau sejenisnya menjadi titik sentral yang mendapatkan jaminan sosial.
Pertanyaan yang pantas diajukan adalah, apa yang harus dilakukan negara ketika negara sendiri tidak mampu memberi jaminan sosial kepada semua golongan tersebut?
Idealnya, tentu negara harusnya senantiasa berusaha menjamin tersedianya jaminan sosial. Karena, itulah fungsinya kita bernegara. Kita semua mau sama-sama sejahtera.
Namun, yang terjadi saat ini justru berbanding terbalik 180 derajat. Bukannya berusaha memenuhi jaminan sosial bagi golongan-golongan tersebut, negara justru mempidanakan golongan-golongan yang tidak mampu mereka jamin status sosialnya.
Sungguh, bukan itu konsep negara welfare state yang diinginkan pembentuk undang-undang dasar.
Pembentuk UUD 1945 menginginkan negara melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Mereka menginginkan pemerintah dengan segala kewenangan yang ada padanya dan menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk mewujudkan salah satu cita-cita proklamasi kemerdekaan: "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..."
Di sisi lain, pendekatan pidana juga bukan solusi yang tepat untuk menertibkan gelandangan. Entah pidana kurungan, apalagi pidana denda yang justru lebih memberatkan.
Sebab, dalam batas penalaran yang wajar, orang yang hidup bergelandangan pasti tidak mampu secara ekonomi. Sehingga, akan menyebabkan mereka lebih kesulitan membayar pidana denda.
Oleh karena itu, dari perspektif originalisme, pasal mempidana gelandangan merupakan pasal yang inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Negara harusnya menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dan memandang gelandangan bukan sebagai pelaku kejahatan, tetapi orang yang harus ditertibkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.