Sebenarnya, aturan mempidana gelandangan sudah ada di dalam KUHP yang saat ini berlaku. Aturan ini diatur didalam Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ayat (1) yang menyatakan: "barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;"
Sekilas, aturan Pasal 505 KUHP ini dan Pasal 429 RKUHP hanya berbeda ancaman pidananya. Jika Pasal 505 KUHP yang berlaku saat ini ancaman pidananya berupa pidana kurungan paling lama tiga bulan, maka Pasal 429 RKUHP yang sedang dirancang pembentuk undang-undang ancaman pidananya berupa pidana denda paling banyak Rp 1 juta. Sehingga, intinya sama saja: mempidanakan gelandangan.
Pun, pada tahun 2012 silam, Pasal 505 KUHP sudah pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Adalah Debbi Agustio Pratama, seorang mahasiswa di Universitas Andalas yang menjadi pemohon pada saat itu mendalilkan bahwa penggelandangan bukan lah perbuatan melawan hukum, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Sebaliknya, menurut dia, penggelandangan harusnya dikategorikan sebagai fakir miskin atau anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara.
Tidak seharusnya kegagalan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar justru diselesaikan dengan pendekatan pidana. Sebuah pendekatan yang sama sekali tidak manusiawi.
Selain itu, pemohon juga mendalilkan bahwa ancaman pidana bagi aktivitas penggelandangan juga mengancam kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin UUD 1945.
Ia mendasarkan argumennya pada kejadian penangkapan yang ia alami bersama rekan-rekannya sesama anak punk dengan menggunakan Pasal 505 KUHP.
Menurut dia, kejadian itu mengakibatkan mereka takut untuk menjalankan aktivitas berkumpul dan berserikat karena tidak lagi merasakan ketenangan dan kebebasan sebagai WNI.
Namun, permohonan tersebut harus kandas di tangan sembilan hakim konstitusi. Sebab, dalam Putusan Nomor 29/PUU-X/2012, MK menolak permohonan dan dalil argumentasi yang disampaikan oleh Debbi Agustio Pratama.
Dalam pertimbangan hukum, setidaknya ada dua alasan mengapa MK menolak permohonan Debbi Agustio Pratama.
Pertama, kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 1945 sejatinya hanya dijamin selama tidak mengganggu ketertiban umum.
Manakala kebebasan menabrak rambu-rambu pembatasan itu, maka jaminan rasa aman justru akan terganggu akibat terganggunya ketertiban umum.
Dan, Pasal 505 KUHP yang mempidana aktivitas penggelandangan justru hadir untuk menciptakan ketertiban umum yang pada akhirnya memicu timbulnya rasa aman di antara warga negara.
Kedua, pelarangan aktivitas penggelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.