Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rino Irlandi
Peneliti

Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Konstitusionalitas Mempidana Gelandangan

Kompas.com - 17/08/2022, 08:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kilas balik

Sebenarnya, aturan mempidana gelandangan sudah ada di dalam KUHP yang saat ini berlaku. Aturan ini diatur didalam Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ayat (1) yang menyatakan: "barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;"

Sekilas, aturan Pasal 505 KUHP ini dan Pasal 429 RKUHP hanya berbeda ancaman pidananya. Jika Pasal 505 KUHP yang berlaku saat ini ancaman pidananya berupa pidana kurungan paling lama tiga bulan, maka Pasal 429 RKUHP yang sedang dirancang pembentuk undang-undang ancaman pidananya berupa pidana denda paling banyak Rp 1 juta. Sehingga, intinya sama saja: mempidanakan gelandangan.

Pun, pada tahun 2012 silam, Pasal 505 KUHP sudah pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi.

Adalah Debbi Agustio Pratama, seorang mahasiswa di Universitas Andalas yang menjadi pemohon pada saat itu mendalilkan bahwa penggelandangan bukan lah perbuatan melawan hukum, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Sebaliknya, menurut dia, penggelandangan harusnya dikategorikan sebagai fakir miskin atau anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara.

Tidak seharusnya kegagalan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar justru diselesaikan dengan pendekatan pidana. Sebuah pendekatan yang sama sekali tidak manusiawi.

Selain itu, pemohon juga mendalilkan bahwa ancaman pidana bagi aktivitas penggelandangan juga mengancam kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Ia mendasarkan argumennya pada kejadian penangkapan yang ia alami bersama rekan-rekannya sesama anak punk dengan menggunakan Pasal 505 KUHP.

Menurut dia, kejadian itu mengakibatkan mereka takut untuk menjalankan aktivitas berkumpul dan berserikat karena tidak lagi merasakan ketenangan dan kebebasan sebagai WNI.

Namun, permohonan tersebut harus kandas di tangan sembilan hakim konstitusi. Sebab, dalam Putusan Nomor 29/PUU-X/2012, MK menolak permohonan dan dalil argumentasi yang disampaikan oleh Debbi Agustio Pratama.

Dalam pertimbangan hukum, setidaknya ada dua alasan mengapa MK menolak permohonan Debbi Agustio Pratama.

Pertama, kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 1945 sejatinya hanya dijamin selama tidak mengganggu ketertiban umum.

Manakala kebebasan menabrak rambu-rambu pembatasan itu, maka jaminan rasa aman justru akan terganggu akibat terganggunya ketertiban umum.

Dan, Pasal 505 KUHP yang mempidana aktivitas penggelandangan justru hadir untuk menciptakan ketertiban umum yang pada akhirnya memicu timbulnya rasa aman di antara warga negara.

Kedua, pelarangan aktivitas penggelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com