Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rino Irlandi
Peneliti

Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Konstitusionalitas Mempidana Gelandangan

Kompas.com - 17/08/2022, 08:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH akhirnya secara resmi menyerahkan Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR.

Bersamaan dengan itu, pembentuk undang-undang akhirnya membuka akses masyarakat atas draft yang direncanakan menjadi kitab hukum pidana nasional ini, setelah sebelumnya begitu sulit untuk diakses.

Dalam pemberitaan di berbagai media massa, Pemerintah mengatakan bahwa RKUHP tidak akan dibahas secara komprehensif di DPR.

Namun, sebaliknya, pembahasan akan dibatasi pada bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian yang dimaksud meliputi 14 isu krusial yang terdiri dari 19 pasal. Salah satu isu krusial tersebut adalah isu penggelandangan.

Isu penggelandangan terdapat di dalam Pasal 429 RKHUP yang berbunyi: "setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.”

Mengenai kategori denda, pada pasal 79 ayat 1, RKUHP membagi pidana denda menjadi 8 kategori.

Besaran dendanya bervariasi dan berkisar antara yang paling rendah Rp 1 juta dan yang paling tinggi Rp 50 miliar. Adapun pidana denda untuk kategori I menurut pasal ini adalah sebesar Rp 1 juta.

Atas adanya pasal tersebut, banyak orang yang berpendapat bahwa pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.

Pasal penggelandangan dianggap bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah sebagai berikut: "(1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara".

Tulisan ini akan menguji konstitusionalitas pasal penggelandangan tersebut. Namun, agar pengujiannya lebih bersifat objektif, penulis akan mengunakan mekanisme penafsiran yang sudah baku di dalam ilmu konstitusi.

Mekanisme penafsiran yang akan digunakan adalah mekanisme penafsiran dengan pendekatan originalisme.

Originalisme

Pertama-tama, penulis ingin menerangkan terlebih dahulu apa itu mekanisme penafsiran dengan pendekatan originalisme secara singkat. Hal ini penting, mengingat tidak semua pembaca mempelajari ilmu konstitusi.

Di dalam ilmu hukum konstitusi, dikenal berbagai jenis metode penafsiran hukum. Masing-masing jenis penafsiran ini memiliki ciri khas yang unik dan berbeda antara satu sama lain sehingga jikalau digunakan pun akan memberikan tafsir yang berbeda.

Menurut Jimly Asshiddiqie (1998), mekanisme penafsiran dengan pendekatan originalisme merupakan aliran penafsiran yang berupaya memahami teks konstitusi secara harfiah dengan rujukan pada originalitas norma dan juga terkadang memasukkan cara pandang semangat pembentuk konstitusi pada masa lampau ketika konstitusi tersebut disusun.

Jadi, ketika penulis menguji konstitusionalitas pasal penggelandangan yang ada di dalam RKUHP terhadap Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana telah dikutip di atas, penulis dituntut untuk memahami norma Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dari perspektif sejarah penyusunan norma tersebut.

Kilas balik

Sebenarnya, aturan mempidana gelandangan sudah ada di dalam KUHP yang saat ini berlaku. Aturan ini diatur didalam Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ayat (1) yang menyatakan: "barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;"

Sekilas, aturan Pasal 505 KUHP ini dan Pasal 429 RKUHP hanya berbeda ancaman pidananya. Jika Pasal 505 KUHP yang berlaku saat ini ancaman pidananya berupa pidana kurungan paling lama tiga bulan, maka Pasal 429 RKUHP yang sedang dirancang pembentuk undang-undang ancaman pidananya berupa pidana denda paling banyak Rp 1 juta. Sehingga, intinya sama saja: mempidanakan gelandangan.

Pun, pada tahun 2012 silam, Pasal 505 KUHP sudah pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi.

Adalah Debbi Agustio Pratama, seorang mahasiswa di Universitas Andalas yang menjadi pemohon pada saat itu mendalilkan bahwa penggelandangan bukan lah perbuatan melawan hukum, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Sebaliknya, menurut dia, penggelandangan harusnya dikategorikan sebagai fakir miskin atau anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara.

Tidak seharusnya kegagalan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar justru diselesaikan dengan pendekatan pidana. Sebuah pendekatan yang sama sekali tidak manusiawi.

Selain itu, pemohon juga mendalilkan bahwa ancaman pidana bagi aktivitas penggelandangan juga mengancam kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Ia mendasarkan argumennya pada kejadian penangkapan yang ia alami bersama rekan-rekannya sesama anak punk dengan menggunakan Pasal 505 KUHP.

Menurut dia, kejadian itu mengakibatkan mereka takut untuk menjalankan aktivitas berkumpul dan berserikat karena tidak lagi merasakan ketenangan dan kebebasan sebagai WNI.

Namun, permohonan tersebut harus kandas di tangan sembilan hakim konstitusi. Sebab, dalam Putusan Nomor 29/PUU-X/2012, MK menolak permohonan dan dalil argumentasi yang disampaikan oleh Debbi Agustio Pratama.

Dalam pertimbangan hukum, setidaknya ada dua alasan mengapa MK menolak permohonan Debbi Agustio Pratama.

Pertama, kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 1945 sejatinya hanya dijamin selama tidak mengganggu ketertiban umum.

Manakala kebebasan menabrak rambu-rambu pembatasan itu, maka jaminan rasa aman justru akan terganggu akibat terganggunya ketertiban umum.

Dan, Pasal 505 KUHP yang mempidana aktivitas penggelandangan justru hadir untuk menciptakan ketertiban umum yang pada akhirnya memicu timbulnya rasa aman di antara warga negara.

Kedua, pelarangan aktivitas penggelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Menurut Mahkamah, pelarangan aktivitas bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan negara.

Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya dapat melaksanakan kewajiban tersebut, tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan warga negara hidup bergelandangan.

Dengan demikian, sama sekali tidak dibenarkan bagi siapapun untuk bergelandangan dengan alasan negara belum melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Konstitusionalitas

Dengan membaca argumentasi hukum tersebut, sulit untuk mengatakan bahwa argumentasi Mahkamah Konstitusi didasarkan pada semangat pembentuk UUD 1945.

Sebab, kalau kita membaca risalah perdebatan pada waktu dirumuskannya Pasal 34 UUD 1945, semangat mendirikan negara welfare state hadir di antara peserta sidang.

Salah satu semangat itu dapat dirujuk dari lontaran komentar Harjono dari Fraksi PDIP terhadap Pasal 34 UUD 1945.

Di hadapan peserta sidang, ia mengatakan: "tetapi apapun penyesuaiannya, menurut saya kewajiban negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat merupakan suatu kebutuhan bagi sebuah pemerintahan di mana akan tercipta welfrare state."

Di dalam Buku VII Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, konsep welfare state bermakna bahwa individu-individu seperti penyandang cacat, fakir miskin, pengangguran, gelandangan atau sejenisnya menjadi titik sentral yang mendapatkan jaminan sosial.

Pertanyaan yang pantas diajukan adalah, apa yang harus dilakukan negara ketika negara sendiri tidak mampu memberi jaminan sosial kepada semua golongan tersebut?

Idealnya, tentu negara harusnya senantiasa berusaha menjamin tersedianya jaminan sosial. Karena, itulah fungsinya kita bernegara. Kita semua mau sama-sama sejahtera.

Namun, yang terjadi saat ini justru berbanding terbalik 180 derajat. Bukannya berusaha memenuhi jaminan sosial bagi golongan-golongan tersebut, negara justru mempidanakan golongan-golongan yang tidak mampu mereka jamin status sosialnya.

Sungguh, bukan itu konsep negara welfare state yang diinginkan pembentuk undang-undang dasar.

Pembentuk UUD 1945 menginginkan negara melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Mereka menginginkan pemerintah dengan segala kewenangan yang ada padanya dan menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk mewujudkan salah satu cita-cita proklamasi kemerdekaan: "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..."

Di sisi lain, pendekatan pidana juga bukan solusi yang tepat untuk menertibkan gelandangan. Entah pidana kurungan, apalagi pidana denda yang justru lebih memberatkan.

Sebab, dalam batas penalaran yang wajar, orang yang hidup bergelandangan pasti tidak mampu secara ekonomi. Sehingga, akan menyebabkan mereka lebih kesulitan membayar pidana denda.

Oleh karena itu, dari perspektif originalisme, pasal mempidana gelandangan merupakan pasal yang inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.

Negara harusnya menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dan memandang gelandangan bukan sebagai pelaku kejahatan, tetapi orang yang harus ditertibkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' hingga Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" hingga Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com