Islam yang sejatinya mengusung prinsip kesetaraan derajat, tersisih ke tubir peradaban ketika agama baru ini tiba di Baghdad, Andalusia, dan Konstantinopel.
Komodifikasi serta politisasi agama tersebut, juga terulang lagi ketika Dinasti Safawiyah masuk ke Persia dengan Syi’ah-nya.
Padahal telah beratus tahun sebelumnya wilayah ini dikenal sebagai basis Sunni yang kuat.
Sebenarnya terlalu sumir bila Muhammad Sang Nabi melarang umatnya menjadi kaya-raya. Sebab semasa hidupnya saja, ia dikelilingi oleh para miliarder-triliuner semacam Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan, Sa'd ibn Abi Waqqash, Thalhah ibn 'Ubaydillah, Az-Zubayr ibn al-'Awwam, Abdurrahman bin ‘Awf. Tokoh yang terakhir, punya kekayaan total ketika wafat sebesar 3.200.000 Dinar atau sekitar Rp 6.212.688.000.000.
Muhammad SAW hanya mengingatkan agar umat Islam tidak hidup bergelimang harta, lupa daratan, gila hormat, dan menindas sesama saudara manusianya.
Inilah yang menjadi alasan kenapa para nabi-rasul tak satu pun yang lahir dari rahim para ningrat atau bangsawan darah.
Justru sebaliknya, kehormatan serta kemuliaan yang mereka dapatkan, merupakan anugerah langsung dari Allah.
Mereka dipuja-puji hingga kini bukan karena dalam darahnya mengalir trah bangsawan dari sebuah kekaisaran, namun karena mereka berhasil mengangkat derajat sesama saudara manusianya dari jurang perbudakan, penistaan, dan angkara murka.
Daud dan Sulaiman adalah dua contoh penting terkait kajian kita. Dua nabi itulah yang menjadi tolok ukur Plato mencanangkan konsep raja filosof.
Karena mereka lah yang berhasil mendirikan pemerintahan theokrasi di muka bumi, dan belum terulang lagi hingga saat ini.
Manakala panji Islam berkibar di Nusantara sejak era kenabian Muhammad, glorifikasi pun terjadi lagi.
Ottoman di bawah kepemimpinan Sultan al Fatih yang berhasil merebut Konstantinopel pada 1523 M, turut mengubah peta konstelasi kekuasaan di dunia, termasuk di belahan bumi bagian Timur.
Samudera Passai, Ternate, Tidore, Goa, Tallo, Buton, Banjar Demak Bintoro, Mataram, Cirebon, Banten, Siak, Pagaruyung, Deli, tercatat sebagai kerajaan yang menggunakan Islam sebagai agama resminya.
Sampai di sini, Anda bisa mencerna bagaimana runyamnya hubungan para penganjur Islam dengan para raja yang kemudian berubah gelarnya menjadi sultan.
Ada begitu banyak tradisi lokal yang akhirnya tercampur baur dengan ajaran Islam—yang episentrumnya tetap berada di lingkaran keraton.
Perlu diketahui, istilah keraton ini dianggit dari lokus lama, karatuan. Tempat para ratu (antidot queen dalam term Inggris) duduk memerintah di bawah arahan para rama dan rasi.
Bedanya adalah, ratu bukan menahbis dirinya. Ia ditunjuk berdasar kemampuan melindungi dan menghidupi segenap rakyat di kemandalaan yang dipimpinnya.
Keraton yang muncul sezaman dengan tumbuh kembang Islam di Nusantara, beda lagi ceritanya. Para sultannya mengurung diri dalam keagulan. Tak terjamah oleh rakyat.
Hidup dari mengutip pajak yang tak berbanding lurus dengan budi dharmanya—selaku perwakilan tuhan di bumi (dewaraja).
Sudah menjadi rahasia umum jika mereka bebas memilih wanita mana pun menjadi istri sah atau gundik (selir), dan kemudian meninggalkan kekacauan di negerinya ketika lengser keprabon.
Malah, ketika Indonesia sudah menjadi sebuah negara, salah satu keraton di Jawa Tengah, dipimpin oleh seorang kangjeng gusti yang gemar pada sesama jenis.
Namun apa lacur, praktik LGBT yang sudah laten sedari zaman Nabi Luth as itu, tetap tak tersentuh hukum positif.
Kejadian ini pun terkubur bersama lembaran kelam sejarah kesewenang-wenangan dan penistaan pada kemanusiaan.