Salin Artikel

Sengkarut Dunia Islam di Ranah Kemanusiaan

Sementara secara genealogi, di dalam diri dan tubuh kita, tersimpan rekaman perjalanan panjang para pendahulu, yang telah lebih dulu menyambung rantai silsilah hingga ke sang pemula, Adam.

Kita sebagai anak, jelas berutang kelahiran dari bapa-indung, aki-nini, uyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, kakait siwur, karuhun, hare-hare, galih asem, gropak waton, cendheng, giyeng, cumpleng, ampleng, menyaman, menya-menya, dan trah tumerah.

Itulah deretan istilah yang dimiliki bangsa ini untuk menghormati para leluhur kita. Maka pemahaman secara mudahnya begini; kita adalah trah tumerah yang sambung menyambung menjadi aku.

Kita tak benar-benar murni membawa kisah seorang diri. Tanpa kehadiran mereka sebelumnya, kita takkan pernah mengada.

Riwayat panjang perjalanan anak manusia inilah yang kemudian kita kenali sebagai kemanusiaan.

Di dalam diri kita, terikut kerumitan yang sedemikian rupa membingungkan, dan kita mesti memecahkan persandian itu satu per satu—sepanjang usia.

Satu di antara sandi utama yang harus kita pahami, yaitu nilai-nilai yang dikandung sejarah. Korpus terbesarnya tersimpan dalam Islam yang telah bertahan nyaris selama dua alaf di panggung peradaban manusia.

Al-Quran telah menerangkan dengan gamblang, bahwa Islam hadir sejak manusia mengembara di muka bumi kali perdana.

Nabi Ibrahim as, misalnya, menyebut kata ganti untuk diri sendiri dengan hanifa muslima (mencondongkan diri pada jalan kebenaran).

Jadi bukan Nabi Muhammad SAW yang ujug-ujug membawa obor Islam dari kegelapan zaman. Sudah sejak Nabi Adam as bahkan, Islam hadir sebagai ajaran. Baru pada era Muhammad SAW lah, Islam terbakukan sebagai sebuah sistem pedoman seperti yang kita ketahui hari ini.

Lantas apa yang menjadi misi utama para manusia yang condong pada kebenaran itu? Jika kita menilik gerak sejarah, maka tampaklah kesamaan mereka: mengembalikan harkat martabat manusia pada kesetaraan.

Ibrahim dari Ur, tak gentar menghadapi Namrudz yang lalim. Nabi orang Mesopotamia ini percaya betul betapa kekuatan sejati dan tak tertandingi, hanya milik Tuhan semata.

Musa as yang datang setelahnya juga sama saja. Tuhan menakdirkannya tumbuh besar dalam naungan Asiyah (Bithiah) binti Muzahim, istri Fir’aun.

Sementara pada saat yang sama, suaminya yang mengaku digdaya itu, sudah membunuhi begitu banyak bayi laki-laki yang lahir di Mesir.

Seperti juga Ibrahim, Musa pun alhasil terlibat perseteruan hebat dengan ayah angkatnya. Ia memimpin Bani Israil keluar dari penindasan, menuju Tanah yang Dijanjikan.

Isa putra Maryam juga tampil di garda depan melawan keangkuhan Herodotus. Selain mereka, beberapa nabi seperti Daud, Sam’un al-Ghazi (Samson), Daniel, dan ratusan ribu nabi lain, punya visi-misi serupa.

Muhammad selaku nabi pamungkas pun demikian adanya. Ia tak menduduki singgasana megah nan mewah seperti Kay Khusrow di Persia, atau Flavius Heraklius di Romawi Timur.

Bersama para sahabat dan pengikutnya, ia lebih memilih duduk sama rendah di atas ambal lusuh, kulit yang disamak, atau malah pelepah kurma, dan berdiri sama tinggi bila berhadapan dengan kezaliman.

Dalam laku lampah keseharian, Muhammad putra Abdullah, malah tak punya murid sama sekali. Ia lebih senang dianggap sahabat oleh para pengikutnya.

Seperti para nabi pendahulunya, kesederhanaan model seperti itu hanya bertahan hingga ‘Ali bin Abi Thalib purna tugas sebagai khalifah (amirul mukminin).

Agama yang berulangkali terbukti menjadi kekuatan besar kebudayaan manusia, sejak era Constantine yang penganut pagan merangkul Nasrani untuk mempertahankan kekuasaannya—kembali didomplengi oleh kereta kencana politik.

Abu Sufyan memindahkan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Mendudukkan para keturunannya di atas glorifikasi yang menindas apa saja yang menghalangi dinasti mereka selama hampir satu abad.

Islam yang sejatinya mengusung prinsip kesetaraan derajat, tersisih ke tubir peradaban ketika agama baru ini tiba di Baghdad, Andalusia, dan Konstantinopel.

Komodifikasi serta politisasi agama tersebut, juga terulang lagi ketika Dinasti Safawiyah masuk ke Persia dengan Syi’ah-nya.

Padahal telah beratus tahun sebelumnya wilayah ini dikenal sebagai basis Sunni yang kuat.

Sebenarnya terlalu sumir bila Muhammad Sang Nabi melarang umatnya menjadi kaya-raya. Sebab semasa hidupnya saja, ia dikelilingi oleh para miliarder-triliuner semacam Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan, Sa'd ibn Abi Waqqash, Thalhah ibn 'Ubaydillah, Az-Zubayr ibn al-'Awwam, Abdurrahman bin ‘Awf. Tokoh yang terakhir, punya kekayaan total ketika wafat sebesar 3.200.000 Dinar atau sekitar Rp 6.212.688.000.000.

Muhammad SAW hanya mengingatkan agar umat Islam tidak hidup bergelimang harta, lupa daratan, gila hormat, dan menindas sesama saudara manusianya.

Inilah yang menjadi alasan kenapa para nabi-rasul tak satu pun yang lahir dari rahim para ningrat atau bangsawan darah.

Justru sebaliknya, kehormatan serta kemuliaan yang mereka dapatkan, merupakan anugerah langsung dari Allah.

Mereka dipuja-puji hingga kini bukan karena dalam darahnya mengalir trah bangsawan dari sebuah kekaisaran, namun karena mereka berhasil mengangkat derajat sesama saudara manusianya dari jurang perbudakan, penistaan, dan angkara murka.

Daud dan Sulaiman adalah dua contoh penting terkait kajian kita. Dua nabi itulah yang menjadi tolok ukur Plato mencanangkan konsep raja filosof.

Karena mereka lah yang berhasil mendirikan pemerintahan theokrasi di muka bumi, dan belum terulang lagi hingga saat ini.

Manakala panji Islam berkibar di Nusantara sejak era kenabian Muhammad, glorifikasi pun terjadi lagi.

Ottoman di bawah kepemimpinan Sultan al Fatih yang berhasil merebut Konstantinopel pada 1523 M, turut mengubah peta konstelasi kekuasaan di dunia, termasuk di belahan bumi bagian Timur.

Samudera Passai, Ternate, Tidore, Goa, Tallo, Buton, Banjar Demak Bintoro, Mataram, Cirebon, Banten, Siak, Pagaruyung, Deli, tercatat sebagai kerajaan yang menggunakan Islam sebagai agama resminya.

Sampai di sini, Anda bisa mencerna bagaimana runyamnya hubungan para penganjur Islam dengan para raja yang kemudian berubah gelarnya menjadi sultan.

Ada begitu banyak tradisi lokal yang akhirnya tercampur baur dengan ajaran Islam—yang episentrumnya tetap berada di lingkaran keraton.

Perlu diketahui, istilah keraton ini dianggit dari lokus lama, karatuan. Tempat para ratu (antidot queen dalam term Inggris) duduk memerintah di bawah arahan para rama dan rasi.

Bedanya adalah, ratu bukan menahbis dirinya. Ia ditunjuk berdasar kemampuan melindungi dan menghidupi segenap rakyat di kemandalaan yang dipimpinnya.

Keraton yang muncul sezaman dengan tumbuh kembang Islam di Nusantara, beda lagi ceritanya. Para sultannya mengurung diri dalam keagulan. Tak terjamah oleh rakyat.

Hidup dari mengutip pajak yang tak berbanding lurus dengan budi dharmanya—selaku perwakilan tuhan di bumi (dewaraja).

Sudah menjadi rahasia umum jika mereka bebas memilih wanita mana pun menjadi istri sah atau gundik (selir), dan kemudian meninggalkan kekacauan di negerinya ketika lengser keprabon.

Malah, ketika Indonesia sudah menjadi sebuah negara, salah satu keraton di Jawa Tengah, dipimpin oleh seorang kangjeng gusti yang gemar pada sesama jenis.

Namun apa lacur, praktik LGBT yang sudah laten sedari zaman Nabi Luth as itu, tetap tak tersentuh hukum positif.

Kejadian ini pun terkubur bersama lembaran kelam sejarah kesewenang-wenangan dan penistaan pada kemanusiaan.

Segelintir saja dari mereka—para sultan itu—yang sungguh benar ingin menunjukkan jati diri keislamannya dengan tampil melawan penjajahan bangsa Barat, Tiongkok, dan jazirah Arab.

Sisanya, dengan kesadaran penuh, mengkhianati kehormatan Ibu Pertiwinya sendiri. Sebagian besar mereka yang enggan kehilangan gelar kebangsawanan darah, cenderung lebih memilih meletakkan kepalanya di bawah duli feodalisme model baru—yang jelas menggiurkan.

Corak kepemimpinan hipokrit seperti itulah yang lantas diberangus oleh para bangsawan pikiran sekelas Cokroaminoto, Raden Mas Panji Sosrokartono, Suryomentaram, Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, dan tentu, Sukarno. Uniknya, mereka semua adalah Muslim yang taat tapi tak tercerabut dari akar kebudayaannya.

Pada era mereka lah, rakyat berkehendak mendirikan rumah baru bernama Republik Indonesia. Kekuasaan kembali ke tangan rakyat.

Sukarno yang notabene tumbuh di bawah haribaan Pakubuwono X, dengan jenius memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalam asas negara baru yang ia dirikan: Pancasila.

Kendati dipersembahkan untuk segenap rakyat Indonesia, sejatinya, Pancasila dialamatkan Sukarno untuk seluruh umat manusia sedunia.

Hal ini bisa kita amati dari kecenderungannya menghangatkan Perang Dingin antara Amerika vs Soviet, dengan membentuk Gerakan Non-Blok.

Satu lagi yang tak bisa kita nafikan, pidatonya di depan Sidang Umum PBB pada 1960 yang menggemparkan itu.

Dengan mengusung judul, “Membangun Dunia Kembali (To Build The World a New), Sukarno tidak segan mengutuk segala bentuk penjajahan.

Penjajahan yang dimaksud Sukarno, jika kita mau memindai isi pikiran Putra Sang Fajar ini dalam seluruh karya yang ia wariskan, tak hanya berkutat pada penindasan bangsa ke bangsa lain. Tapi bahkan satu manusia ke manusia lain.

Kita semua sama di bawah kolong langit, tanpa terkecuali. Tak boleh ada seorang pun di muka bumi ini, khususnya di Indonesia, yang bisa memeras keringat orang lain untuk kepentingannya sendiri, berbekal strata sosial yang ia beli dengan segala bentuk cara. Baik melalui harta, kekuasaan, pengetahuan, maupun agama.

Kehormatan seorang manusia, mestinya diperoleh berdasarkan keluasan ilmu, budi pekerti, kebijaksanaan, dan sumbangsihnya pada kehidupan.

Kaidah inilah yang sebenarnya diperjuangkan Siti Jenar ketika mengenalkan Manunggal ing kawula lan Gusti (Bagus ning Ati).

Tak ada raja, tak ada rakyat, yang ada hanya manusia. Ingsun. Jiwa-raganya bersatu penuh, utuh, menyeluruh, dengan Ruh Ilahi (Ruhi) yang ditiupkan ke dalam dirinya sejak di dalam Rahim Ibu.

Ajaran egaliter yang terkait langsung sampai ke Abu Bakar Siddiq ini, dilarang keras oleh Trenggana, Sultan Demak.

Latarnya jelas politis. Keikut-sertaan Wali Sanga dalam proses pelarangan ajaran Siti Jenar, dilatari “kepantasan moral” memihak kepentingan Trenggana dalam kapasitas keluarga besar.

Sekadar menyegarkan ingatan, Trenggana adalah cucu Sunan Ampel. Sementara Sunan Bonang adalah uwaknya. Sunan Drajat merupakan pamannya. Sunan Giri II jadi sepupunya. Sunan Kalijaga mertuanya. Sunan Gunung Jati besannya. Sunan Ngudung sepupu jauhnya.

Wajar bila salah satu pertanyaan Siti Jenar kepada salah seorang sunan di bumi Jawa pada abad keenambelas kala itu, tak mendapatkan jawaban sebagaimana mestinya:
“Dengan apa kisanak bersujud saat bersembahyang?”

Kini, suasana formalisme beragama semacam itu seperti terulang lagi. Kasus pelecehan santriwati oleh pengampu pondok pesantren, pelencengan dana bantuan sosial, pemaksaan jilbab dan seragam di sekolah, menunjukkan betapa begitu banyak orang yang menggunakan agama sebagai sarana pemuas birahi, egosentrisme kekuasaan atas liyan, dan terutama keserakahan.

Sedangkan di sisi sebaliknya, teramat banyak orang yang mudah tertipu dengan penampilan luar seseorang yang tampak soleh, padahal durjana.

Dari rentetan kasus itu kita bisa sama-sama bertanya: apa yang salah dengan keberagamaan kita? Sadar atau tidak, harus diakui dengan rendah hati, ada yang janggal dengan cara kita mengenali Islam.

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/05/12261671/sengkarut-dunia-islam-di-ranah-kemanusiaan

Terkini Lainnya

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Berebut Lahan Parkir, Pria di Pondok Aren Gigit Jari Rekannya hingga Putus

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke