Ketiga, upaya pelibatan beberapa lembaga eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diharapkan menjadi satu kesatuan dengan Tim Polri.
Pelibatan lembaga eksternal ini diharapkan meningkatkan legitimiasi dan transparansi atas upaya Polri dalam mengungkap peristiwa kematian tersebut secara objektif.
Dalam konteks penegakan hukum yang memiliki dimensi publik sebagaimana kasus kematian Bripda J – maka peran lembaga negara non struktural atau yang dikenal publik sebagai state auxialiary bodies, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak dapat dinafikan.
Berbagai peran telah dilakukan oleh kedua lembaga tersebut dalam konteks mengawal suatu proses atau peristiwa untuk mendapatkan kebenaran materiil yang seringkali menjadi pertaruhan kepercayaan publik.
Tidak kurang berbagai kasus yang berdimensi sensitif seperti terorisme, korupsi, kekerasan militer, penyiksaan dan pembunuhan – termasuk pelanggaran hak asasi yang berat oleh negara menjadi objek yang diselidiki, beserta saksi dan korban yang dilindungi agar kebenaran dapat terungkap.
Bercermin pada pengalaman tersebut, maka sudah tepat pelibatan kedua lembaga state auxialiary bodies dalam konteks ini.
Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lainya yang berfungsi untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asai manusia.
Dalam kontkes ini, maka sangat tepat jika Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemantauan atas peristiwa hilangnya hak untuk hidup Bripda J secara mandiri dan menolak untuk bergabung dengan Tim Khusus yang dibentuk oleh Kapolri.
Demikian halnya, LPSK sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 diberikan amanat untuk melindungi saksi dan korban demi sifat keterangan yang sangat penting dan adanya ancaman baik psikis dan fisik dari pihak tertentu yang dikhawatirkan memengaruhi kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Maka perlindungan terhadap saksi kunci dan korban juga perlu diperhatikan dalam konteks peristiwa kematian Bripda J.
LPSK perlu secara selektif melakukan klasifikasi dan verifikasi secara cermat terhadap siapa korban dan saksi agar perlindungan yang dilakukan benar dan tepat, sehingga akan membantu terang peristiwa tersebut.
Meskipun demikian, perlu juga kita menumbuhkan sikap kritis terhadap kerja lembaga-lembaga state auxialiary bodies guna memastikan kehadiran lembaga-lembaga ini sejalan dengan marwah dan tujuan pembentukannya.
Pertama, dalam beberapa pernyataan, Komnas HAM menyatakan akan melaporkan secara berkala kepada Presiden di Istana berkaitan dengan perkembangan penanganan kasus kematian Bripda J.
Pernyataan tersebut tentunya menjadi alarm bagi independensi dan kemandirian lembaga – dalam konteks pengungkapan peristiwa terlebih dalam penyelidikan dan pemantauan maka “berjarak” dengan kekuasaan yang merupakan pelaku pelanggar hak asasi manusia harus tetap dilakukan.
Berbeda dalam prespektif tata pergaulan kelembagaan maka tata krama kelembagaan harus tetap terjalin dalam negara demokratis.