Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat, upaya Gus Dur menghilangkan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa dimulai sejak 17 Januari 2000.
Pada momen itu, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 dengan tiga poin utama.
Baca juga: Situasi Mencekam, Gus Dur Minta Keluarga Dievakuasi, Tangis Alissa pun Pecah
Satu, mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Dua, semua ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku.
Tiga, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit 7 Februari 2016, Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo mengungkapkan alasan Gus Dur ketika memutuskan pencabutan Inspres tersebut.
Baca juga: Gus Dur: Tak Ada Jabatan yang Layak Dipertahankan dengan Pertumpahan Darah
Ia mengaku kaget karena keputusan itu diambil secara tiba-tiba. Suatu hari Budi dan Gus Dur tengah berbincang sambil mengitari Istana Negara.
Lantas Gus Dur memutuskan untuk merayakan Imlek di Jakarta dan perayaan Cap Go Meh di Surabaya.
Namun rencana itu terhalang karena masih berlaku Inpres 14/1967.
Dengan spontan Gus Dur berkata, “Gampang, inpres saya cabut.”
Tiga tahun pasca lengser, dalam diskusinya dengan masyarakat Tionghoa di Semarang, Gus Dur menyebut bangsa Indonesia mesti terbuka dengan keragaman.
Ia menegaskan, keturunan Tionghoa tak boleh dikucilkan di masyarakat.
Baca juga: Gus Dur dan Poros Tengah, Mesra di Awal dan Runyam di Akhir
“Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan,” paparnya dikutip dari Harian Kompas terbitan 11 Maret 2004.
“Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia,” tuturnya.
Bagi Gus Dur pluralisme bisa terjadi jika kita menghargai demokrasi yang berpedoman pada hukum dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.