JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 23 Juli 2001, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Alasannya beragam, mulai dari kebijakannya yang kontroversial, keputusannya mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membekukan MPR dan DPR, hingga tudingan menyelewengkan dana.
Di antara berbagai kontroversi itu, nyatanya nama Gus Dur harum di tengah sejumlah kalangan, termasuk masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia.
Pada tahun 2004, gelar Bapak Tionghoa Indonesia disematkan kepada Gus Dur oleh Perkumpulan Sosial Rasa Dharma di Kleteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah.
Gelar itu tak berlebihan mengingat beberapa sumbangsih Gus Dur untuk masyarakat Tionghoa yang tidak mendapat keleluasaan di masa pemerintahan Orde Baru.
Baca juga: Air Mata Gus Dur Mengalir sebelum Terbitkan Dekrit
Dalam buku “Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia” disebutkan, Gus Dur selalu memiliki semangat untuk membela kaum minoritas.
Hal itu diakui oleh Yahya Cholil Staquf yang pernah menjabat sebagai sekretaris Gus Dur ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
“Dalam pikiran Gus Dur, kelompok minoritas ini perlu mendapat perhatian yang sebenarnya. Minoritas dalam arti demografis, dan minoritas yang mendapat diskriminasi,” paparnya dalam sebuah wawancara di tahun 2014.
Salah satu kelompok minoritas yang diperjuangkan Gus Dur adalah masyarakat keturunan Tionghoa.
Pasalnya, kelompok tersebut mendapat perlakuan diskriminatif selama Presiden Soeharto memimpin.
Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana
Kala itu, Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang mengekang masyarakat Tionghoa untuk beribadah dan menyelenggarakan tradisi mereka.
Ada dua aturan utama yang mengekang kebebasan masyarakat Tionghoa.
Pertama, ibadah yang berpusat pada leluhur harus dilakukan secara internal dalam keluarga.
Kedua, perayaan pesta agama dan adat istiadat tak boleh mencolok di depan umum.
Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat, upaya Gus Dur menghilangkan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa dimulai sejak 17 Januari 2000.
Pada momen itu, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 dengan tiga poin utama.
Baca juga: Situasi Mencekam, Gus Dur Minta Keluarga Dievakuasi, Tangis Alissa pun Pecah
Satu, mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Dua, semua ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku.
Tiga, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit 7 Februari 2016, Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo mengungkapkan alasan Gus Dur ketika memutuskan pencabutan Inspres tersebut.
Baca juga: Gus Dur: Tak Ada Jabatan yang Layak Dipertahankan dengan Pertumpahan Darah
Ia mengaku kaget karena keputusan itu diambil secara tiba-tiba. Suatu hari Budi dan Gus Dur tengah berbincang sambil mengitari Istana Negara.
Lantas Gus Dur memutuskan untuk merayakan Imlek di Jakarta dan perayaan Cap Go Meh di Surabaya.
Namun rencana itu terhalang karena masih berlaku Inpres 14/1967.
Dengan spontan Gus Dur berkata, “Gampang, inpres saya cabut.”
Tiga tahun pasca lengser, dalam diskusinya dengan masyarakat Tionghoa di Semarang, Gus Dur menyebut bangsa Indonesia mesti terbuka dengan keragaman.
Ia menegaskan, keturunan Tionghoa tak boleh dikucilkan di masyarakat.
Baca juga: Gus Dur dan Poros Tengah, Mesra di Awal dan Runyam di Akhir
“Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan,” paparnya dikutip dari Harian Kompas terbitan 11 Maret 2004.
“Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia,” tuturnya.
Bagi Gus Dur pluralisme bisa terjadi jika kita menghargai demokrasi yang berpedoman pada hukum dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.