Namun, menurut Robert dalam pemeriksaan oleh Ombudsman Kepala Badan Bidang Pembinaan Hukum TNI menyebut dalam proses pengangkatan prajurit TNI aktif sebelumnya, TNI tidak pernah mengusulkan calon Pj kepala daerah.
Pihak TNI juga mengaku tidak dilibatkan dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah.
“Biasanya, kalau ada penugasan prajurit aktif, maka pihak TNI itu dimintakan dan kemudian akan berkoordinasi,” tutur Robert.
Dugaan malaadministrasi yang ketiga adalah Kemendagri diduga mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menentukan kewajiban hukum.
Putusan yang dimaksud adalah nomor 67/PUU-XIX/2021 dan 15/PUU-XX/2022 mengenai ketentuan pengisian kekosongan pejabat kepala daerah menjelang Pemilu Serentak 2024.
Robert mengatakan dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa penunjukan Pj kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, menerbitkan peraturan pelaksana tindak lanjut Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016, dan lainnya.
Baca juga: Penunjukan Pj Kepala Daerah Secara Masif Jangan Jadi Dalih untuk Hapus Sistem Pemilu Langsung
Menurut dia, terdapat tiga produk hukum, yakni peraturan, keputusan, dan putusan lembaga.
“Ini ada pengabaian kewajiban hukum terhadap melaksanakan putusan tersebut,” tutur Robert.
Sebagai informasi, tiga LSM yakni Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Perludem melaporkan dugaan malaadministrasi terkait penunjukan Pj kepala daerah oleh Kemendagri.
Mereka protes lantaran permohonan informasi terkait penunjukan Pj kepala daerah tidak dibuka ke publik.
Di sisi lain, dalam beberapa bulan terakhir keputusan Kemendagri menunjuk prajurit TNI aktif sebagai Pj kepala daerah mendapat sorotan dari sejumlah aktivis dan pakar hukum tata negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.