JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah saat ini dinilai sedang cenderung menguji coba sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung di masa depan.
Imbas pilkada yang diundur hingga 2024, ada ratusan kota, kabupaten, dan provinsi yang bakal mengalami kekosongan pemimpin secara definitif.
Guna mengisi kekosongan itu, pemerintah punya otoritas menunjuk penjabat (pj) kepala daerah. Otoritas ini telah dimiliki pemerintah sejak lama.
Keadaan ini dinilai menjadi momentum yang pas untuk mengevaluasi sistem pemilihan langsung dan melirik opsi pemilihan tak langsung.
Baca juga: Mendagri Klaim Pengangkatan Pj Kepala Daerah Bakal Libatkan KPK dan PPATK
Apalagi, uji coba ini pun dianggap selaras dengan fakta bahwa banyak kepala daerah saat ini terjerat kasus korupsi, sesuatu yang dinilai tak lepas dari biaya politik yang tinggi imbas pemilihan langsung.
“Dalam konteks itu saya menduga pejabat-pejabat negara ini mencoba meng-exercise satu sistem, kalau ditunjuk kepala daerahnya bisa berpotensi jauh lebih baik dari urusan korupsi dan segala macam,” kata Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana dalam diskusi virtual yang dihelat PARA Syndicate, Minggu (17/7/2022).
Dalam mekanisme yang ada saat ini, menteri dalam negeri berwenang menunjuk pj wali kota dan bupati. Sementara itu, kewenangan menunjuk pj gubernur ada di tangan presiden.
Baca juga: Aturan Pj Kepala Daerah, Pertaruhan Kemendagri untuk Jaga Demokrasi
Akan tetapi, jumlah 272 pj kepala daerah yang bakal dilantik demi mengisi kekosongan selama 2022-2024 dinilai terlalu banyak dan rawan bagi demokrasi.
Sebab, jumlah itu lebih dari separuh wilayah kota, kabupaten, dan provinsi di Indonesia (542) yang memiliki kepala daerah.
Jika dalam saat yang sama lebih dari separuh wilayah Indonesia dipimpin oleh kepala daerah yang ditunjuk langsung, maka esensi negara demokrasi, yang mengutamakan sistem pemilihan langsung, dipertanyakan.
Terlebih, mekanisme saat ini tidak membuka partisipasi publik yang bermakna dalam pengusulan kandidat maupun evaluasi kinerja pj kepala daerah.
“Ini memuluskan satu situasi bahwa ternyata (penunjukan kepala daerah secara langsung, barangkali) bisa lebih baik, tidak korupsi, biaya politiknya tidak mahal, sangat kontras dengan pilkada yang biaya politiknya mahal, dan ketika mereka menjabat punya kecenderungan korupsi,” ucap Aditya.