Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Pantang Mundur Minta Usut Dugaan Gratifikasi Lili Pintauli...

Kompas.com - 15/07/2022, 05:01 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Selepas Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri dari jabatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berarti semua permasalahan yang membelitnya berakhir.

Persoalan yang masih mengganjal adalah soal nasib dugaan gratifikasi yang diterima oleh Lili.

Karena dugaan pelanggaran etik berkaitan dengan tuduhan gratifikasi itu maka Dewan Pengawas KPK seharusnya menyidangkan Lili pada Senin (11/7/2022) lalu.

Akan tetapi, Dewan Pengawas KPK tidak melanjutkan sidang terhadap Lili karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken surat pemberhentian Lili yang mengajukan pengunduran diri.

Lili Pintauli resmi mengundurkan diri dari pimpinan KPK berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 71/P/2022 tertanggal 11 Juli 2022 tentang pemberhentian pimpinan KPK.

Baca juga: Kinerja Pansel Capim KPK Saat Loloskan Lili Pintauli Diungkit

Sebelum menjalani sidang etik untuk kedua kali, Lili dilaporkan terkait dugaan menerima gratifikasi.

Yaitu fasilitas mewah untuk menyaksikan ajang balap MotoGP pada 18 hingga 20 Maret 2022 lalu di Grandstand Premium Zona A-Red Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selain itu, Lili juga diduga mendapatkan fasilitas menginap di Amber Lombok Resort pada 16-22 Maret 2022.

Lili dan keluarganya disebut menerima tiket dan akomodasi hotel dengan total nilai sekitar Rp 90 juta dari Pertamina.

Dugaan gratifikasi yang diterima oleh Lili itulah yang menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) tak bisa dibiarkan menguap begitu saja.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, adanya laporan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dugaan penerimaan akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP di Mandalika dari salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Lili Pintauli tidak hanya terkait pelanggaran etik, tetapi juga telah memenuhi unsur pidana.

Baca juga: Saat Komisi III DPR Menolak Bertanggung Jawab Sudah Pilih Lili Pintauli Jadi Komisioner KPK

Terlebih, dugaan pidana mantan Komisioner KPK itu merupakan delik biasa dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang pengusutannya bisa dilakukan aparat penegak hukum tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat.

"Penting juga ditekankan bahwa seluruh delik korupsi di dalam UU Tipikor merupakan delik biasa, bukan aduan. Jadi, aparat penegak hukum bisa bergerak sendiri tanpa harus menunggu aduan atau laporan masyarakat," ujar Kurnia kepada Kompas.com, Rabu (13/7/2022).

"Perbuatan yang diduga dilakukan oleh saudari Lili bukan hanya berkaitan dengan pelanggaran etik, melainkan berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi, di antaranya suap atau gratifikasi," ujar dia.

Kurnia juga mendesak supaya Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Polri dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penyelidikan atas dugaan gratifikasi mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar.

Baca juga: Ketua Komisi III DPR Sebut Sidang Etik Semestinya Tak Berhenti meski Lili Mengundurkan Diri

Menurut Kurnia, Dewan Pengawas KPK seharusnya bisa melaporkan Lili Pintauli ke aparat penegak hukum berbekal bukti-bukti yang sudah dimiliki dalam proses pemeriksaan etik.

Sebab jika bukti-bukti dugaan gratifikasi itu hanya dibiarkan, maka menurut Kurnia hal itu sama saja membuat Dewan Pengawas KPK seolah-olah sedang melindungi Lili Pintauli.

"Jika itu tidak dilakukan, maka jangan salahkan masyarakat jika kemudian menuding Dewan Pengawas KPK sebagai barisan pelindung saudari Lili," ujar Kurnia.

Bisa terungkap

Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan, pihak yang diduga memberikan Lili Pintauli kemungkinan bisa terkuak jika sidang etik digelar.

"Mestinya dengan menyidangkan kasus Lili maka akan diketahui siapa saja pemberi gratifikasi itu, apa tujuan pemberiannya, dan kenapa Lili menerimanya apakah ada kaitan atau tidak," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/7/2022).

Feri mengatakan, dengan menggelar sidang dan mengungkap pemberi gratifikasi, sidang etik di KPK tidak hanya bertujuan untuk sekadar menjatuhkan sanksi.

Sidang etik di KPK bisa mengungkap kebobrokan insan KPK yang melakukan perbuatan menyimpang.

Baca juga: Persilakan Warga Laporkan Dugaan Gratifikasi Lili Pintauli, KPK: Kami Verifikasi

Hal ini, menurut Feri menjadi tujuan pembentukan Dewas.

"Kecuali dewas dibentuk dengan tujuan untuk melindungi pimpinan KPK yang melanggar etik," ujar pakar hukum Tata Negara dari Universitas Andalas itu.

Feri juga menilai keputusan Dewan Pengawas KPK yang menyatakan sidang etik terhadap Lili Pintauli gugur setelah mengundurkan diri dimaknai bahwa penyelidikan dugaan pelanggaran etik dan gratifikasi itu tak perlu dilanjutkan.

"Padahal kasus gratifikasi tidak hanya menyangkut etik tapi tindak pidana korupsi," tutur Feri.

(Penulis : Irfan Kamil, Syakirun Ni'am | Editor : Dani Prabowo, Bagus Santosa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Nasional
Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Nasional
Menteri KP: Lahan 'Idle' 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Menteri KP: Lahan "Idle" 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Nasional
Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Nasional
Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Nasional
Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Nasional
Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Nasional
Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com