Itu semua mengindikasikan derajat kepedulian publik yang semakin membaik akan perlunya kasus-kasus viktimisasi seksual ditangani secara pidana.
Kedua, media massa juga semakin gencar mewartakan jenis kejahatan yang satu ini. Begitu nyaringnya hingga mencapai decibel yang tidak mungkin dapat diabaikan sama sekali oleh instansi-instansi terkait.
Ketiga, otoritas penegakan hukum lebih tanggap terhadap tingginya harapan masyarakat. Itu tercermin, antara lain, pada pembentukan Direktorat Perlindungan Anak mulai dari Mabes Polri hingga Polda.
Ketika tiga pihak tersebut bergerak lebih intens sebagaimana dideskripsikan di atas, baik secara sporadis maupun terintegrasi. Konsekuensinya adalah masyarakat akan semakin 'terbiasa' dan paham bahwa kejahatan seksual terhadap anak ternyata memang terjadi tidak jauh dari tempat kita berada.
Banyak kalangan bertanya, apa yang harus dilakukan untuk menekan peristiwa kejahatan seksual terhadap anak.
Jawabannya, saya yakini, terletak pada empat dimensi penegakan hukum: preemtif, preventif, represif, dan rehabilitasi.
Artinya, memang mutlak dibutuhkan kerja keras dan terpadu yang bersifat lintas dimensi itu. Terkait itu, sudah banyak rekomendasi yang dihasilkan, terutama pada dimensi preventif.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajukan satu usulan yang mungkin terkesan vulgar atau ekstrem.
Saya memberanikan diri menulis usulan ini setelah mempelajari kompleksitas yang dihadapi otoritas penegakan hukum setiap kali menangani kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak.
Kompleksitas itu memang tidak mengada-ada. Sangat banyak hasil studi yang menyimpulkan bahwa penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak beratnya bukan alang-kepalang.
Secara kuantitatif, dari keseluruhan laporan yang masuk ke kantor polisi, jumlah kasus yang berhasil diproses hingga tuntas (clearance rate) terbilang sangat rendah.
Dan kendala terbesar yang dihadapi otoritas penegakan hukum adalah minim atau bahkan tidak adanya barang bukti.
Ketiadaan barang bukti diakibatkan oleh jauhnya jarak waktu antara kejadian dan pelaporan. Juga, disebabkan oleh tindak-tanduk korban yang kendati sebetulnya sangat manusiawi, namun sering menghilangkan barang bukti itu sendiri.
Atas dasar itu, tanpa pernah berharap bahwa anak-anak akan mengalami kejahatan yang amat keji itu, sungguh baik apabila keluarga, sekolah, masyarakat, dan otoritas penegakan hukum mengedukasi anak-anak tentang apa yang sebaiknya mereka lakukan jika mereka mengalami kejahatan secara seksual.
Materi ini tentu disampaikan setelah pihak-pihak terkait menilai secara seksama kesiapan anak-anak untuk menyimaknya.