Cara penyampaiannya pun harus disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan standar kepatutan yang dimiliki anak.
Pertama, kelaziman korban adalah membersihkan diri sesegera mungkin setelah ia dijahati. Reaksi sedemikian rupa sesungguhnya wajar, karena korban merasa tubuhnya kotor.
Namun pada sisi lain, membersihkan tubuh, apalagi menyiram dengan air sebanyak-banyaknya pada bagian tubuh yang diserang pelaku, justru menghilangkan jejak pelaku (misal, cairan kelamin) dari tubuh korban.
Padahal, jejak itulah yang sangat dibutuhkan agar pembuktian menjadi solid.
Jadi, bertolak belakang dengan kecenderungan korban, korban sebaiknya tidak membersihkan dirinya hingga selesainya pemeriksaan oleh dokter terhadap tubuh korban.
Kedua, dalam serangan seksual yang pelakunya menggunakan cara kekerasan (brutal), korban mungkin tidak sanggup melakukan perlawanan. Itu pun wajar.
Tapi sebaliknya, apabila memungkinkan, korban dapat berupaya memperoleh bukti tubuh pelaku.
Menjambak agar bisa mendapat helai rambut pelaku, misalnya. Atau mencakar agar tertinggal kulit atau darah pelaku di balik kuku korban. Dan seterusnya.
Ketiga, saat bertemu dengan dokter, korban dapat meminta dokter melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya kuman penyakit seksual yang pindah dari pelaku ke tubuh korban.
Ini, di samping sebagai barang bukti, juga bermanfaat agar dokter dapat secepatnya melakukan penanganan terhadap risiko penularan penyakit seksual pada diri korban.
Keempat, meski sebagian korban mungkin tidak merasa adanya guncangan psikis pasca—maaf—dilecehkan, namun tetap minta adanya pendampingan psikologi.
Tujuannya adalah agar kondisi korban—apa pun bentuknya—tetap termonitor sejak dini, sehingga dinamika pemunculan gejala yang tertunda (delayed onset) juga dapat diantisipasi secara efektif.
Kelima, minta bantuan pendamping atau pihak rumah sakit untuk mengontak polisi. Pembuatan berita acara sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau di tempat yang dirasa korban paling menenteramkan dirinya.
Pendamping seyogianya menyediakan alat perekam. Rekaman pemeriksaan semestinya dapat disodorkan ke petugas kepolisian bila terhadap korban harus dilakukan pemeriksaan ulang.
Dengan rekaman, risiko re-trauma (akibat korban terpaksa mengingat-ingat kembali pengalaman traumatisnya) diharapkan dapat ditangkal.
Sekali lagi, semua pihak patut semaksimal mungkin saling menjaga guna mempersempit peluang terjadinya kejahatan seksual terhadap anak.
Namun ketika suratan tangan berkata lain, semua pihak terlebih korban perlu belajar bagaimana membantu aparat penegak hukum agar mereka—pada gilirannya--dapat membantu korban lebih optimal. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.