Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Dicari, Partai-Partai "Pemersatu" Bangsa

Kompas.com - 07/07/2022, 05:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

USULAN Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam suatu pertemuan untuk calon suksesor kepemimpinan nasional di 2024, tidak urung menimbulkan “kehebohan” politik terkiwari. Usulan Paloh didasarkan dari pengalaman dua kali pemilihan presiden (2014 dan 2019) yang begitu “mengharu biru”. Keterbelahan politik yang begitu diametral, menciptakan kubu “cebong” dan “kadrun”.

Usulan Paloh mengenai pasangan duet Ganjar Pranowo – Anies Baswedan untuk Pipres 2024 yang oleh khalayak disebut sebagai pasangan pemersatu bangsa, diyakini bisa mengakhiri politik identitas. Energi bangsa begitu habis hanya digunakan untuk kultuskan idola masing-masing.

Pemilih kita masih terjebak dengan sosok, bukan terpikat karena program yang ditawarkan atau visi misi kebangsaan yang diusung calon. Politik kita masih jauh dari peradaban modern, lebih mengedepankan otot dan mengenyampingkan akal.

Baca juga: Harga Mati Usung AHY Dinilai Jadi Penyebab Demokrat Ditolak Golkar hingga PDI-P untuk Koalisi

Jika Ganjar dan Anies disandingkan menjadi satu pasangan, diyakini Paloh jalannya Pilpres akan “selesai”. Kekhawatiran terjadinya ketegangan antar elite hingga akar rumput bahkan dalam rumah tangga yang terkecil pun akan berkurang bahkan hilang.

Nama Ganjar dan Anies adalah dua nama paling “hot” dari sekian nama yang digadang-gadang akan berlaga di Pilpres 2024. Tiga nama menguasai papan atas hasil survei berbagai lembaga survei termasuk Nusakom Pratama, yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Nama mereka sebagai capres dengan elektabiltas paling “moncer”. Jauh meninggalkan nama-nama lain seperti Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Erick Thohir, Puan Maharani atau Muhaimin Iskandar.

Yang menjadi pembeda antara ketiganya adalah, Prabowo sudah memiliki “kuda tunggangan” yang bernama Gerindra, sementara Anies tidak memiliki perahu karena bukan kader partai manapun. Sedangkan Ganjar Pranowo memang kader tulen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tetapi belum memegang kunci “aman” pencalonan. Ganjar harus bersabar hingga injury time seperti kebiasaan PDI-P selama ini yang paling terlambat mengumumkan capres-cawapres ketimbang partai-partai lain.

Pergerakan lambat PDI-P dalam menyorong nama capres walaupun sudah menggelar rapat kerja nasional beberapa hari yang lalu, tidak urung membuat Gerindra mencari “jalan aman”. Gerindra tidak akan berlabuh dan sulit seiring sejalan bersama Demokrat mengingat sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dianggap tidak “klop” mendampingi Prabowo maka cara yang sama-sama aman, baik bagi Gerindra adalah menggandeng Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dengan mengusung Koalisi Silahturami Indonesia Raya, Gerindra seakan mengulang pakem kestabilan koalisi, yakni berkelindannya poros nasionalis dan nadhliyin dalam aras politik bersama. Padahal selama ini, Gerindra begitu yakin dengan jalinan historis kerjasama politik dengan PDI-P. Pengalaman pernah berkoalisi dalam Pilpres 2009 yang menyandingkan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto (MegaPro) menjadi modal untuk kerjasama politik. Demikian juga relasi Megawati dengan Prabowo pun berjalan baik tetapi Gerindra tidak bisa “berlama-lama” menunggu keputusan PDI-P yang lama menyatakan “ijab kabul”. Gerindra harus bergerak cepat menggandeng PKB mengingat hanya partai ini yang belum mendapat “teman” di koalisi- koalisi yang sementara terbentuk.

Koalisi partai = koalisi kekuasaan

Melihat koalisi-koalisi yang terbentuk dalam beberapa kali pilpres, sejatinya hanya PDI-P yang tetap mempertahankan sebagai oposisi jika kalah dalam pilpres (2004 & 2009). Berbeda dengan Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang di dua kali pilpres (2014 & 2019) tetap berada di luar gelanggang kekuasaan karena memang tidak ada “ajakan” untuk bergabung di pemerintahan.

Baca juga: Dekati Nasdem, PKS Sebut Bentuk Tim Kecil untuk Jajaki Koalisi

Kultur oposisi tidak dimiliki PPP, PKB, PAN apalagi Golkar sehingga kepentingan pragmatis menjadi pilihan jalan keluar ketika kalah di pentas pilpres. Golkar dengan kekuatan kursi di parlemen di setiap rezim yang berkuasa selalu stabil, menjadi pilihan setiap rezim untuk menggandengnya di kekuasaan agar meredam potensi “gangguan” di parlemen.

Begitu menggelikan jika di setiap pertemuan antar ketua umum partai-partai, selalu terlontar kalau masalah kebangsaan dan kondisi global terkini menjadi topik bahasan. Padahal kita semua tahu dan paham, tentu yang dibincangkan adalah “otak-atik gathuk” agar elite mendapat porsi kekuasaan maksimal. Politik “dagang sapi”, gua dapat apa, ente minta apa, selalu mencuat dalam manuver pertemuan elite partai-partai akhir ini. Yang dipikirkan hanyalah kerjasama antar partai untuk meraih kekuasaan tanpa mengedepankan kesejahteraan rakyat yang semakin mengkhawatirkan atau hutang negara yang semakin menggunung.

Keengenan partai politik tertentu seperti PDI-P yang “ogah” membangun koalisi dengan PKS atau Demokrat seharusnya tidak dipandang dengan “nyinyir” atau bentuk kesombongan politik. Sikap seperti PDI-P dalam membangun platform kerja sama politik tidak terlepas dari jatidiri yang hendak dibangun oleh suatu partai politik.

Dalam ranah ilmu politik, terdapat sebuah teori koalisi yang menjabarkan bahwa tidak semua partai politik itu pantas dan layak untuk dijadikan sebagai “sahabat seiring sekata” terutama dalam pembentukan kabinet koalisi. Hanya partai-partai politik tertentu saja yang dapat menciptakan sebuah koalisi secara efektif dan kondusif bagi kelanjutan sekaligus perkembangan pada sistem partai.

Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menerapkan minimal winning coalitions dimana pembentukan koalisi tanpa memperdulikan posisi partai dan spektrum ideologi. Koalisi ini memiliki prinsip dengan tujuan untuk memaksimalkan kekuasaan sebanyak mungkin guna memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang sekiranya tidak diperlukan. Adakalanya, partai dengan perolehan suara terbanyak cenderung akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas sekaligus memperkuat posisinya di parlemen.

Saya hanya membayangkan, minimum size coalitions ini terjadi antara PDI-P dengan Nasdem. Andai relasi kedua partai ini bisa berjalan seiring tanpa adanya barrier tentu koalisi ini menjadi ideal karena kesepahaman akan jalannya kebangsaan yang sama. Atau bisa juga Gerindra dengan PKB akhirnya kekal dan abadi dalam berkoalisi maka nantinya akan ada kekuatan oposisi yang kritis dan seimbang di parlemen. Itu pun dengan catatan, Golkar, PAN serta PPP akan “menyeberang” ke kubu pemenang. Dan oposisi masih menyisahkan Demokrat, PKS, PDI-P dan Nasdem.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com