Jika saja Koalisi Indonesia Bersatu yang dibangun Golkar, PPP dan PAN menang dalam Pilpres 2024 serta tidak membuka peluang lagi bagi partai-partai lain untuk bergabung maka terjadilah koalisi bargaining proposition. Prinsip dasar dalam koalisi ini memudahkan proses negosiasi dan tawar-menawar sebab anggota atau rekan koalisinya berjumlah minimal.
Baca juga: Koalisi Gerindra-PKB Disebut Putuskan Capres-Cawapres dalam Waktu Dekat
Bahkan dapat disebut juga bahwa proses negosiasi yang berlangsung pada koalisi tersebut dapat berjalan tanpa hambatan sebab koalisinya paling sedikit. Hanya saja kekhawatiran terjadinya sabotase di parlemen membuat koalisi rentan menjadi gemuk bahkan semok semlohay seperti di era Jokowi ini.
Semula sempat diidealkan andaikan saja para pandhito partai seperti Megawati Soekarnoputeri dari PDI-P dan Prabowo Subianto dari Gerindra ingin membuka “jalan baru” bagi sejarah kepemimpinan nasional dengan merelakan tiket capres-cawapres bagi kader-kader muda seperti Ganjar Pranowo dan Sandiaga Uno untuk maju bersama dalam sepasang “pengantin” politik maka lembar suksesi memasuki bab baru berupa buku berjudul estafet kepemimpinan muda.
Atau andai saja mimpi politik di tengah tidur siang bisa terwujud, Demokrat menyorong nama Ridwan Kamil serta Nasdem mengusung Anies Baswedan atau PKB menyodorkan Khofifah Indar Parawansa maka Nasdem, Demokrat, atau PKB akan memiliki potensi menang yang besar ketimbang selalu memaksakan nama AHY sebagai “harga mati” untuk menjalin koalisi dengan partai-partai lain (Kompas.com, 6 Juli 2022). Atau PKB yang selalu memaksakan nama Cak Imin sebagai capres (Kompas.com, 2 Juli 2022).
Butuh kearifan SBY untuk merelakan tiket pencapresan atau pencawapresan dari partainya berasal dari luar trah Cikeas. Setidaknya, SBY bisa belajar dari pengalaman politik Megawati yang meng-endorse Jokowi sebagai capres di Pilpres 2014 dan 2019.
Demikian juga, Muhaimin Iskandar juga harus belajar arti ikhlas akan kursi kekuasaan dan selalu mengingat PKB bukan tercipta untuknya belaka, tetapi untuk umat. Minimal range coalitions ini terbangun karena kedekatan pada kecenderungan ideologis sehingga memudahkan partai-partai politik untuk berkoalisi membentuk pemerintahan.
Sayangnya pula, dalam teori koalisi ini tidak mudah terwujud karena mengabaikan perbedaan arah dan prioritas kebijaksanaan dari masing-masing partai politik. Apakah SBY legowo memberikan kursi “panas” untuk sosok bukan putranya sendiri? Apakah Prabowo ikhlas memberikan “sangkur” kekuasaan untuk Sandiaga Uno sementara ambisinya untuk menggapai RI-1 tidak akan pernah padam sampai kapan pun?
Tentu kita mengidealkan adanya keseimbangan antara koalisi partai yang berkuasa dan koalisi partai yang menjadi oposisi agar koreksi dan kekritisan terhadap praktek kebangsaan dan kenegaraan terus terjaga. Pemerintahan yang sangat kuat seperti rezim Jokowi sekarang ini menjadikan suara-suara kritis mudah untuk dipadamkan. Suara kritis kerap dianggap anti pemerintah padahal tidak semua kritik adalah jelek.
Kita perlu adanya minimal connected winning coalitions yang banyak diterapkan di negara-negara lain. Dasar pijakannya adalah bahwa partai-partai politik yang berkoalisi lebih dikarenakan masing-masing partai memiliki kedekatan dalam orientasi kebijaksanaannya. Partai-partai politik ini akan mencari anggota koalisi dari partai yang terdekat secara ideologis dan tercermin pada orientasi kebijaksanaan partai.
Ringkasnya, teori koalisi ini tetap memperhatikan dan berpijak pada kesamaan ideologi. Dengan kondisi prasyarat untuk berkoalisi selalu mengedepankan figur - entah yang laik dan layak memimpin rakyat atau sekedar menjadi bintang di tiktok - masih mungkinkan kita memimpikan koalisi-koalisi terbentuk karena memikirkan rakyat?
Makin hari makin susah saja
Menjadi manusia yang manusia sepertinya menjadi manusia
Adalah masalah buat manusia
Menjadi bintang ketinggian
Menjadi tanah kerendahan