Dalam jagat king maker sekarang muncul nama baru, yaitu Jokowi. Ia adalah king maker informal, karena bukan pemimpin formal partai. Namun ia telah dua periode menjadi king (baca: presiden).
Sesuai konstitusi, ia tak boleh lagi hattrick. Maka Jokowi diprediksi dapat menjadi king maker pada Pilpres 2024.
Secara formal, historis, sumber daya, dan jaringan, Jokowi menjadi sosok kuat sekarang ini. Jokowi adalah politikus yang bertransformasi dari “petugas partai” menjadi kepala negara.
Meskipun bukan tokoh sentral partai, faktor figur Jokowi dinilai kuat dengan basis pemilih yang solid. Di era demokrasi elektoral, figur dapat mengalahkan mesin politik partai.
Dengan basis massa pemilih antara lain terinstitusi dalam Pro Jokowi (Projo), maka Jokowi menjadi poros lain di antara para king maker.
Bila faktor Jokowi dengan massa pemilihnya tidak dimanfaatkan PDIP, kemungkinan besar akan dilirik partai lain.
Nama lain adalah Jusuf Kalla yang kerap disebut-sebut sebagai king maker. Terakhir dikaitkan dengan kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
JK memang politikus kawakan. Pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar (2004-2009). Tak heran bila dianggap salah satu patron dan punya jaringan luas di partai beringin tersebut.
JK juga dinilai punya link di lintas partai, bahkan jaringan non-partai. Ia pun merupakan representasi Indonesia Timur.
Terlebih lagi sejak 2012 sebagai Ketua Dewan Masjid, ia memiliki hubungan dekat dengan massa pemilih Muslim.
Dua kali menjadi wapres (2004-2009 dan 2014-2019) menambah legitimasi posisinya sebagai king maker.
Saat mendampingi SBY pada periode pertama, JK kerap dijuluki the real president.
Maka dalam peta politik menjelang Pilpres 2024, para king maker tersebut akan menjadi poros-poros koalisi juga.
Kita akan melihat ke mana angin bertiup maka ke poros-poros itulah para politikus (pemimpin partai) merapat.
Memang, resonansinya tidak sama. Ada yang getarannya kuat, ada yang sedang, bahkan mungkin lemah.
King maker yang ditopang dengan bobot dan sumber daya kuat akan menjadi kutub dominan dan berpengaruh.
Adapun king maker yang resonansinya kurang kuat akan menggabungkan diri berkoalisi. Tentu saja termasuk partai yang bargaining position-nya juga kurang kuat.
Lantas apakah hanya enam poros itu yang bakal menjadi king maker? Jawabannya bisa “iya”, bisa juga “tidak”.
Kalau para politikus lain cuma mengekor, pasti mereka merapat ke enam poros itu. Tetapi jika ada politikus yang menggunakan 2024 sebagai momentum perubahan bukan mustahil muncul king maker baru.
Mungkin tidak sekaliber para king maker yang disebut di atas, tetapi bila raja-raja kecil berkoalisi kemungkinan dapat memperluas wilayah dan menobatkan raja baru.
Misalnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) di mana ada Golkar, PAN, dan PPP yang berdasarkan jumlah kursi di DPR sudah punya tiket masuk bursa capres-cawapres.
Namun seberapa siap dan pede Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), dan Suharso Monoarfa (Ketua Umum PPP), memasuki level king maker?
Apabila mereka solid dan firm, maka menjadi momentum untuk membuat perubahan. Setidaknya poros dalam jagat king maker semakin dinamis.
Tinggal yang menjadi pekerjaan strategis adalah kepiawaian para king maker membidik kandidatnya seperti tangan dingin Kanemaru, tetapi tidak dengan cara-caranya.
Sebab, kita tak ingin demokrasi di negeri ini terjerumus ke dalam tragedi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.