JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah hampir tiga tahun mandek, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan kembali membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Akhir Mei kemarin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Komisi III DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) mengenai revisi UU ini.
Namun, hingga kini pemerintah dan DPR belum mau membuka draf terbaru RUU tersebut. Padahal, revisi KUHP ditargetkan rampung pada Juli tahun ini.
Pada 2019 lalu, pembahasan RKUHP ditunda lantaran menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Beberapa pasal yang dimuat dalam draf RUU itu dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet.
Baca juga: Pasal-pasal Karet RKUHP yang Jadi Sorotan
Beberapa pasal yang menuai banyak penolakan misalnya terkait penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa.
Pasal-pasal itu mengatur pidana pada perbuatan penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, penghasutan untuk melawan penguasa umum, hingga penyerangan terhadap kehormatan presiden dan wakil presiden.
Berikut sederet pasal yang memuat pidana terhadap perbuatan menghina penguasa versi draf RKUHP 2019.
Tindak penghinaan terhadap pemerintah diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019.
Pasal itu menyebutkan bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui teknilogi informasi.
Baca juga: Polemik RKUHP dan Problem Pembahasan yang Terkesan Tertutup
"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian Pasal 240 draf RKUHP.
Kemudian, dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V".
Ihwal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara diatur dalam Pasal 353 dan 354 draf RKUHP versi 2019.
Pasal itu mengatur bahwa perbuatan menghina kekuasaan umum dan lembaga negara bisa dipidana penjara hingga 3 tahun.
Baca juga: Mengenal Pasal Penyerangan Kehormatan dan Martabat Presiden yang Jadi Kontroversi RKUHP
"Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 353 Ayat (1).
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III," lanjutan Pasal 353 Ayat (2).
Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara merupakan delik aduan. Artinya, perbuatan ini dapat diproses hukum jika pihak yang merasa dirugikan membuat aduan atau laporan kepada pihak berwenang.
Baca juga: Wamenkumham: Draf RKUHP Banyak Typo, Belum Diserahkan ke DPR
Kemudian, pada Pasal 354 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Pada bagian penjelasan draf RKUHP dijelaskan bahwa pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati.
"Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota," demikian bunyi penjelasan pasal.
Delik penghasutan melawan penguasa umum diatur dalam Pasal 246 dan 247 draf RKUHP versi 2019.
Dalam pasal 246 diatur bahwa perbuatan menghasut penguasa umum dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun.
Pasal 246 berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan:
a. menghasut orang untuk melakukan tindak pidana; atau
b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan".
Baca juga: Masyarakat Diminta Tetap Desak Pemerintah Buka Draf Terbaru RKUHP
Adapun merujuk penjelasan draf RKUHP, yang dimaksud dengan menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu.
Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mendengar.
Selanjutnya, pada Pasal 247 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi hasutan agar melakukan tindak pidana atau melawan penguasa umum dengan kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan
atau pidana denda paling banyak kategori V.
Baca juga: Draf Terbaru RKUHP Belum Dibuka, Pemerintah dan DPR Dinilai Otoriter
Penjelasan Pasal 247 draf RKUHP menerangkan, yang dimaksud dengan menyiarkan merupakan perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
Perihal penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
Merujuk draf RKUHP versi 2019, perbuatan menyerang kehormatan dan martabat presiden dapat dipidana penjara hingga 3,5 tahun.
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat (1).
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," lanjutan Pasal 218 Ayat (2).
Hukuman terhadap penyerangan kehormatan dan martabat presiden bisa diperberat menjadi 4,5 tahun jika dilakukan di media sosial. Perihal tersebut diatur dalam Pasal 219 draf RKUHP.
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal tersebut.
Kemudian, pada Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan, harkat dan martabat presiden dan wakil presiden ini hanya dapat dituntut jika ada aduan. Pengaduan itu dapat dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Baca juga: Wamenkumham: Draf RKUHP Banyak Typo, Belum Diserahkan ke DPR
Sebagaimana diketahui, hingga kini pemerintah belum membuka draf RKUHP terbaru. Pemerintah berdalih bahwa draf teranyar masih disusun.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej mengatakan, pihaknya menargetkan menuntaskan penyempurnaan draf terbaru RKUHP hari ini.
"Mudah-mudahan hari ini," ujar Eddy kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/6/2022).
Eddy menjelaskan proses penyempurnaan draf berjalan lama karena ada ratusan pasal di dalamnya yang harus diteliti.
Dia mengaku tidak ingin kejadian seperti UU Cipta Kerja terulang, di mana ada ayat yang berbunyi berhubungan dengan ayat lainnya, padahal ayat tersebut tidak ada.
"Jadi ada perubahan substansi, ada soal typo, ada soal rujukan, dan ada soal sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.