Menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (1) draf RKUHP versi 2019, yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum.
Perbuatan itu termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Baca juga: Saat RKUHP Picu Demo Besar Mahasiswa pada 2019...
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan
pemerintah.
Namun demikian, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal).
"Oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, sehingga dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara," bunyi penjelasan pasal tersebut.
Sementara, merujuk penjelasan Pasal 218 Ayat (2) draf RKUHP, yang dimaksud "perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
Baca juga: Kemenkumham: Draf RKUHP Masih Taraf Penyusunan dan Penyempurnaan
Mengenai pasal kontroversial ini, pemerintah berdalih bahwa perbuatan penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden masuk dalam delik aduan.
Artinya, perbuatan tersebut dapat diproses hukum jika pihak yang merasa dirugikan membuat laporan atau pengaduan ke pihak berwenang.
"Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, jadi kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (25/5/2022).
Edward mengatakan, tidak ada keinginan pemerintah untuk membangkitkan kembali pasal penghinaan presiden.
Sebelumnya, pasal tersebut pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006.
Edward mengeklaim, pasal yang ada di RKUHP berbeda dengan pasal yang dicabut oleh MK.
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda. Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan," jelasnya.
Baca juga: Wamenkumham: Draf RKUHP Banyak Typo, Belum Diserahkan ke DPR
Menurut Edward, dalam RKUHP juga dijelaskan bahwa pengaduan mengenai pasal ini harus dilakukan langsung oleh presiden maupun wakil presiden secara tertulis.
"Kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum," klaim dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.