Jika selama Perang Dunia I (1914 – 1918) merupakan teater sebuah perang statis berupa perang parit di mana para prajurit “mati-matian” bertahan di parit pertahanan sembari berusaha merebut parit pertahanan milik lawan.
Di awal Perang Dunia II, 1 September 1939 Jerman memamerkan taktik perang yang baru yang disebut perang kilat atau blikzkrieg.
Dalam blitzkrieg tidak dikenal dengan adanya parit atau benteng pertahanan, justru pertahanan terbaik datang dari strategi pengerahan gabungan pasukan yang terus bergerak (Kompas.com, 01/09/2014).
Pengumuman tiga bakal capres Nasdem itu saya analogikan dengan taktik blitzkrieg karena mendahului “pergerakkan” partai-partai dalam mengumumkan capres.
Tidak bisa disebut prematur mengingat Nasdem tidak langsung mengumumkan capres tunggal melainkan “mengambangkan” kepada tiga sosok unggulan.
Direncanakan Nasdem baru mendeklarasikan capres tunggal pada bulan Desember mendatang.
Selama ini, manuver partai-partai politik dalam membentuk koalisi atau akan mengumumkan capres menunggu sikap PDI Perjuangan (PDIP) mengingat hanya partai besutan Megawati Soekarnoputri yang bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri.
Partai Gerindra yang telah menemukan “chemistry” dengan PDIP tentu juga “was-was” dengan sikap PDIP yang belum juga menentukan siapakah yang akan diajukan partai berlogo banteng itu sebagai calon, apakah Ketua DPR Puan Maharani atau kader lain?
Apakah Prabowo Subianto di posisi capres ataukah Prabowo sudi menerima tawaran sebagai cawapres?
Jika Puan yang diajukan PDIP, pasti Prabowo akan meminta privilege dengan posisi tawar sebagai calon RI-1 walau suara perolehan Gerindra di Pemilu 2019 lalu di bawah suara raihan PDIP.
Arus besar di tubuh Partai Gerindra sendiri secara kompak bersatu tetap mendukung penuh pencalonan Prabowo Subianto sebagai capres.
Pencalonan Prabowo seperti serial atau episode sambung-menyambung yang tiada henti, terhitung sejak berduet dengan Megawati Soekarnoputeri di Pilpres 2009 sebagai cawapres, menggandeng Hatta Rajasa di Pilpres 2014 dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019 sebagai capres.
Walaupun Sandiaga Uno menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra dan memiliki elektabilitas yang moncer, nama Prabowo tetap menjadi “junjungan” prioritas dari Gerindra.
Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik yang “ketahuan” menduakan dukungan kepada Anies Baswedan, harus siap menerima konsekuensi politik berupa pencopotan jabatannnya di DPRD DKI.
Pertemuan Ketua Umum PKB Cak Imin dengan Prabowo di kediaman Menteri Pertahanan di Jalan Kertanegara, Jakarta, Sabtu (18/06/2022), usai dilancarkan serangan “blitzkrieg” Nasdem bisa dimaknai sebagai langkah antisipasi kedua elit dari PKB dan Gerindra untuk mencari kemungkinan dan alternatif koalisi.
Jika skenarionya kedua partai ini “kawin”, maka dapat dipastikan akan mengusung duet Prabowo Subianto – Cak Imin.
Sebagai langkah pengaman, suara PKS harus diambil agar suara ketiga partai ini cukup untuk maju di pentas Pilpres 2024.
Dalam pekan-pekan mendatang usai Nasdem melancarkan “blitzkrieg” di panggung politik jelang suksesi, akan ada lagi pertemuan, silaturahmi dan penjajakan koalisi untuk mencari “aman” bagi partai-partai dalam men-deal-kan calon-calon unggulannya.
Ibarat praktik pedagang di pasar, semua pedagang sibuk menjajakan dagangannya ke sana-ke mari.
Jika di satu sisi pengumuman tiga bakal capres dari Nasdem yang mendahului partai-partai lain dianggap langkah jitu dan cerdas, tetapi di sisi lain juga menunjukkan Nasdem gagal dalam melakukan proses kaderisasi.