Menjadi pertanyaan: apakah internet benar-benar mendorong demokratisasi radikal, dalam arti, semua orang mampu merepresentasikan kepentingannya. Jawabannya tidak demikian.
Demokrasi digital, bagi saya, tidak lain adalah manifestasi dari praktik politik konvensional dengan perubahan struktur dan mekanismenya.
Perubahan struktur dan mekanisme, artinya, orang-orang yang begitu aktif dalam aktivisme memiliki cara efektif di internet untuk membangun aksi kolektif menentang rezim.
Sementara orang-orang yang tidak pernah terlibat partisipasi politik sebelumnya tetap akan terpinggirkan dari demokrasi digital.
Proposisi semacam ini penting karena kita memahami implikasinya, bahwa internet tidak memberikan kontribusi signifikan pada konsolidasi demokrasi.
Hal ini dikarenakan proses partisipasinya, termasuk siapa yang mendominasi wacana adalah orang-orang lama yang berpindah dari konvensional ke digital.
Implikasi berikutnya adalah ketimpangan demokrasi digital akan memengaruhi bagaimana potensi kebijakan yang muncul.
Waupun mereka yang “berisik” melakukan protes di media sosial adalah para aktivis, bukan berarti suara mereka merepresentasikan kepentingan publik secara utuh.
Terlebih tidak semua aktivis mampu merepresentasikan apa yang dianggap sebagai “kepentingan publik” oleh karena suara mereka terpinggirkan dari wacana dominan yang sarat dengan kapasitas ekonomi sebelumnya.
Oleh karena arena demokrasi digital begitu timpang, kebijakan publik tetap harus menjadikan situasi sosial nyata sebagai basisnya.
Bukan dengan melihat apa yang dibicarakan netizen semata di internet. Bukan juga dengan mendasarkan asumsi di dunia maya yang sangat bias dan tidak mencerminkan kepentingan kolektif utuh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.