Polarisasi yang sangat tajam berpotensi pada kemunculan konflik horizontal di mana benihnya mulai terlihat dari kasus pemukulan Ade Armando beberapa waktu lalu.
Kemarahan terhadap Ade begitu valid karena mereka termakan oleh narasi perpecahan di media sosial.
Tetapi ada satu hal penting yang juga mengemuka dalam wacana demokrasi di ruang digital: ketimpangan.
Apa yang saya maksud ketimpangan di sini berarti ketimpangan dalam hal “siapa yang berpartisipasi” dengan “siapa yang mendominasi”.
Isu “siapa yang berpartisipasi” berkaitan dengan orang-orang yang turut menyuarakan aspirasinya entah di media sosial atau spesifik ikut menandatangani petisi elektronik.
Walaupun mereka tampak ramai di media sosial, kenyataannya orang-orang yang berpartisipasi politik di ranah digital jumlahnya sangat sedikit.
Bahkan studi Pew Research Center tahun lalu menunjukkan hanya sembilan persen akun media sosial di AS yang aktif membagikan opini politik.
Saya meyakini bahwa Indonesia juga akan mirip seperti kondisi AS tersebut di mana hanya sebagian kecil saja yang aktif membagikan opini politiknya di media sosial. Suara mereka tampak dominan tetapi jumlah mereka sangat sedikit.
Makanya aneh ketika ada klaim bahwa temuan big data menunjukkan dukungan pada wacana presiden tiga periode, padahal yang bersuara “itu-itu saja”.
Ketimpangan berikutnya adalah “siapa yang mendominasi”. Dalam penelitian saya yang terbit di Jurnal Pemikiran Sosiologi Universitas Gadjah Mada (2021), kenyataannya dominasi wacana politik di media sosial dikuasai oleh mereka yang memiliki modal sosial besar.
Modal sosial itu setidaknya terlihat dari jumlah followers mereka di media sosial. Ternyata, modal sosial itu juga beriringan dengan keberadaan modal lain terutama ekonomi.
Mereka yang memiliki uang artinya mampu untuk membangun opini publik di ranah digital. Kondisi ini juga merujuk pada fenomena penggaung (buzzer) politik yang sarat dengan kepemilikan kapital ekonomi.
Ya, mereka yang begitu dominan melakukan pembelaan dan penyerangan atas nama politik adalah orang-orang yang telah dibayar mahal.
Dalam penelitian lain yang saya lakukan untuk kepentingan tesis magister sosiologi, kemampuan seseorang untuk mendominasi arena digital sangat dipengaruhi oleh posisi sosial-kultural-ekonomi sebelumnya.
Adalah petisi online Change.org yang saya amati, di mana mereka yang berhasil menggalang dukungan tanda tangan dalam skala besar tidak lain adalah orang-orang dengan pengalaman aktivisme sebelumnya. Mereka adalah individu dengan jejaring sosial luas sekaligus strategis.