Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Grady Nagara
Peneliti Next Policy

Peneliti Next Policy. Pembelajar sosiologi dari Universitas Indonesia. Pemerhati dunia sosial dan politik.

Ketimpangan dalam Demokrasi Digital

Kompas.com - 09/06/2022, 12:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SIAPA sangka, jika merujuk pada analisis para Indonesianis seperti David T. Hill & Khrisna Sen (2000), internet begitu kontributif terhadap proses peruntuhan rezim Orde Baru.

Ceritanya begini: sekelompok aktivis pro-demokrasi yang jengah dengan otoritarianisme berkumpul dan berdiskusi melalui forum mailing list (milis) yang dinamakan Apa Kabar.

Milis tersebut sebetulnya bukan dari Indonesia, melainkan diinisiasi oleh seseorang bernama John MacDougall dari Maryland (sebuah negara bagian di AS) agar menjadi forum komunikasi politik yang mengkritik Orde Baru dari dalam dan luar negeri.

Lewat forum online tersebut, para aktivis mempelajari bagaimana membangun gerakan sosial yang menjadi martir bagi reformasi dan demokratisasi.

Saya kira tidak begitu banyak yang tahu bahwa internet menjadi media efektif dalam membangun gerakan perlawanan terhadap Presiden Suharto saat itu.

Internet yang merupakan global networks of computer tidak serta-merta dapat diblokir oleh pemimpin otoriter disebabkan servernya yang mampu berpindah ke negara lain.

Kejadian semacam ini terulang pada 2010 lalu di negara-negara Timur Tengah. Seorang pedagang kaki lima di Tunisia yang merasakan frustasi karena dagangannya disita aparat memutuskan untuk membakar diri sendiri sebagai bentuk protes.

Aksi protes tersebut menjadi viral di media sosial dan menggerakkan amarah publik yang luar biasa. Banyak orang berdemonstrasi menuntut Ben Ali turun.

Revolusi Tunisia pecah, yang layaknya “bola salju” bergulir ke negara-negara Arab lainnya seperti Libya, Mesir, hingga Suriah.

Arab Spring adalah manifestasi dari revolusi yang berakar pada diskusi warga di internet, terutama media sosial.

Seberapa keraspun pemerintah melakukan sensor tidak akan pernah mampu membungkam protes di ranah maya karena jejaring internet begitu fleksibel dan terdesentralisasi.

Tidak mengherankan jika banyak scholars merayakan kehadiran internet sebagai ruang demokrasi yang paling demokratis.

Demokrasi digital yang berarti “upaya mempraktikkan demokrasi tanpa batasan ruang, waktu, dan kondisi fisik lainnya” pada saat bersamaan cukup banyak meninggalkan residu.

Freedom of speech artinya berita bohong dan misinformasi ada di mana-mana.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa kini negara-negara demokrasi menghadapi problem polarisasi sosial yang sangat serius seperti di AS, termasuk Indonesia.

Polarisasi yang sangat tajam berpotensi pada kemunculan konflik horizontal di mana benihnya mulai terlihat dari kasus pemukulan Ade Armando beberapa waktu lalu.

Kemarahan terhadap Ade begitu valid karena mereka termakan oleh narasi perpecahan di media sosial.

Tetapi ada satu hal penting yang juga mengemuka dalam wacana demokrasi di ruang digital: ketimpangan.

Apa yang saya maksud ketimpangan di sini berarti ketimpangan dalam hal “siapa yang berpartisipasi” dengan “siapa yang mendominasi”.

Isu “siapa yang berpartisipasi” berkaitan dengan orang-orang yang turut menyuarakan aspirasinya entah di media sosial atau spesifik ikut menandatangani petisi elektronik.

Walaupun mereka tampak ramai di media sosial, kenyataannya orang-orang yang berpartisipasi politik di ranah digital jumlahnya sangat sedikit.

Bahkan studi Pew Research Center tahun lalu menunjukkan hanya sembilan persen akun media sosial di AS yang aktif membagikan opini politik.

Saya meyakini bahwa Indonesia juga akan mirip seperti kondisi AS tersebut di mana hanya sebagian kecil saja yang aktif membagikan opini politiknya di media sosial. Suara mereka tampak dominan tetapi jumlah mereka sangat sedikit.

Makanya aneh ketika ada klaim bahwa temuan big data menunjukkan dukungan pada wacana presiden tiga periode, padahal yang bersuara “itu-itu saja”.

Ketimpangan berikutnya adalah “siapa yang mendominasi”. Dalam penelitian saya yang terbit di Jurnal Pemikiran Sosiologi Universitas Gadjah Mada (2021), kenyataannya dominasi wacana politik di media sosial dikuasai oleh mereka yang memiliki modal sosial besar.

Modal sosial itu setidaknya terlihat dari jumlah followers mereka di media sosial. Ternyata, modal sosial itu juga beriringan dengan keberadaan modal lain terutama ekonomi.

Mereka yang memiliki uang artinya mampu untuk membangun opini publik di ranah digital. Kondisi ini juga merujuk pada fenomena penggaung (buzzer) politik yang sarat dengan kepemilikan kapital ekonomi.

Ya, mereka yang begitu dominan melakukan pembelaan dan penyerangan atas nama politik adalah orang-orang yang telah dibayar mahal.

Dalam penelitian lain yang saya lakukan untuk kepentingan tesis magister sosiologi, kemampuan seseorang untuk mendominasi arena digital sangat dipengaruhi oleh posisi sosial-kultural-ekonomi sebelumnya.

Adalah petisi online Change.org yang saya amati, di mana mereka yang berhasil menggalang dukungan tanda tangan dalam skala besar tidak lain adalah orang-orang dengan pengalaman aktivisme sebelumnya. Mereka adalah individu dengan jejaring sosial luas sekaligus strategis.

Menjadi pertanyaan: apakah internet benar-benar mendorong demokratisasi radikal, dalam arti, semua orang mampu merepresentasikan kepentingannya. Jawabannya tidak demikian.

Demokrasi digital, bagi saya, tidak lain adalah manifestasi dari praktik politik konvensional dengan perubahan struktur dan mekanismenya.

Perubahan struktur dan mekanisme, artinya, orang-orang yang begitu aktif dalam aktivisme memiliki cara efektif di internet untuk membangun aksi kolektif menentang rezim.

Sementara orang-orang yang tidak pernah terlibat partisipasi politik sebelumnya tetap akan terpinggirkan dari demokrasi digital.

Proposisi semacam ini penting karena kita memahami implikasinya, bahwa internet tidak memberikan kontribusi signifikan pada konsolidasi demokrasi.

Hal ini dikarenakan proses partisipasinya, termasuk siapa yang mendominasi wacana adalah orang-orang lama yang berpindah dari konvensional ke digital.

Implikasi berikutnya adalah ketimpangan demokrasi digital akan memengaruhi bagaimana potensi kebijakan yang muncul.

Waupun mereka yang “berisik” melakukan protes di media sosial adalah para aktivis, bukan berarti suara mereka merepresentasikan kepentingan publik secara utuh.

Terlebih tidak semua aktivis mampu merepresentasikan apa yang dianggap sebagai “kepentingan publik” oleh karena suara mereka terpinggirkan dari wacana dominan yang sarat dengan kapasitas ekonomi sebelumnya.

Oleh karena arena demokrasi digital begitu timpang, kebijakan publik tetap harus menjadikan situasi sosial nyata sebagai basisnya.

Bukan dengan melihat apa yang dibicarakan netizen semata di internet. Bukan juga dengan mendasarkan asumsi di dunia maya yang sangat bias dan tidak mencerminkan kepentingan kolektif utuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com