Bagaimana tidak, pemilihan 5 tingkat pemimpin yang meliputi presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota akan digelar secara bersama-sama di seluruh daerah.
Sembilan bulan setelahnya, penyelenggara pemilu harus menggelar pemilihan gubernur di 33 provinsi (minus Daerah Istimewa Yogyakarta), dan pemilihan bupati/wali kota di 514 kabupaten/kota seluruh tanah air.
Hasyim mengatakan, pemilu maupun pilkada bukan hanya urusan hari H pemungutan suara, melainkan serangkaian tahapan yang panjang.
Karena keterbatasan waktu, kata dia, nantinya akan ada tahapan pemilu dan pilkada yang berlangsung bersinggungan dalam waktu yang sama.
"Pilkada pintunya ada dua, lewat partai politik dan lewat perseorangan atau dikenal sebagai calon independen," jelas Hasyim.
"Untuk jalur partai syaratnya diajukan oleh partai politik yang punya minimal 20 persen kursi DPRD provinsi, kabupaten/kota, 25 persen suara di masing-masing daerahnya. Pertanyaannya, hasil pemilu yang mana? Hasil Pemilu 2024. Maka mau tidak mau ada tahap Pemilu 2024 yang masih berjalan tapi tahap Pilkada 2024 sudah dimulai," paparnya.
Baca juga: KPU Siapkan Anggaran Rp 14,4 Triliun Antisipasi Pilpres 2024 Dua Putaran
Tak hanya bagi penyelenggara, lanjut Hasyim, pemilu dan pilkada serentak 2024 juga akan menjadi kerja berat bagi partai politik.
Setidaknya, partai harus menyiapkan 2.593 calon untuk diikutsertakan dalam pemilu tingkat DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Untuk DPR RI satu daerah pemilihan (dapil) saja, partai harus menyiapkan 3-10 calon. Sementara, untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota 3-12 calon.
"Kita asumsikan diisi secara maksimal, maka tinggal dikalikan jumlahnya. Jadi selepas pemilu nasional, partai sudah harus ngelus jago yang mau dicalonkan sebagai gubernur, bupati, dan wali kota," kata Hasyim.
Serentaknya penyelenggaraan pemilu dan pilkada di tahun 2024 juga berimplikasi pada membengkaknya anggaran.
Pada 2019, anggaran pemilu sebesar Rp 25 triliun dengan realisasi Rp 23 triliun. Angka itu melonjak 3 kali lipat di Pemilu 2024 menjadi Rp 76,6 triliun.
Hasyim mengatakan, anggaran tersebut termasuk biaya pengadaan kantor-kantor KPU di daerah. Menurut dia, masih ada kantor KPU di wilayah yang bangunannya menyewa pada pemerintah pusat, ada pula yang roboh terkena bencana alam.
Momen pemilu pun dinilai tepat untuk menganggarkan pengadaan kantor KPU.
Namun, di antara semua komponen, alokasi terbesar adalah honor untuk penyelenggara pemilu ad hoc di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) atau yang biasa disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).