Dua jempol untuk gerakan mahasiswa beberapa waktu lalu, yang tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
Saya ucapkan selamat dan jangan pernah berhenti menjadi pejuang demokrasi.
Lantas mengapa isu ini dimunculkan? Secara ekonomi politik, Benjamin Friedman punya jawaban ciamik tentang melemahnya kekuatan demokrasi tersebut.
Dalam bukunya "The Moral Consequences of Economics Growth" beberapa tahun lalu, Benjamin memostulasikan bahwa jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi ekonomi, bahkan resesi, gerakan-gerakan kanan, baik kanan religius atau gerakan supernasionalis, yang cenderung non demokratis, akan bersemi.
Tapi jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif akan berkembang pesat, seperti menguatnya isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya, yang rerata berakar pada ideologi kiri.
Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Apalagi resesi.
Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin Friedman tersebut, demokrasi memang harus ditopang oleh "prosperity (kemakmuran)" agar dinamikanya stabil dan semakin mapan.
Bahkan Willaim J. Bernstein dalam bukunya "The Birth of Plenty" tahun 2004 lalu menyimpulkan dengan tegas bahwa prosperity (kesejahteraan/kemakmuran) adalah "driver" krusial lahir dan bertahanya demokrasi, bukan sebaliknya.
Memang ada satu dua pengecualian, seperti China misalnya, tapi pada umumnya "prosperity" menjadi bahan pelengkap utama lahir atau bertahannya demokrasi.
Jadi pendeknya, menguatnya suara yang ingin mendorong terjadinya “democracy backsliding,”(meminjam istilah Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman), disebabkan oleh kinerja ekonomi yang buruk di satu sisi dan menguatnya jejaring ekonomi politik yang menikmati konsesi-konsesi ekonomi dari pusat-pusat kekuasaan di sisi lain.
Jejaring ekonomi politik yang biasa dikenal dengan istilah oligarki tersebut menikmati kinerja ekonomi makro yang kurang baik, karena kekayaan nasional justru semakin mengerucut ke atas, yakni ke kelompok 1 persen atau 20 persen kelas atas dan menjauh dari kelompok 40 persen kelas menengah dan 40 persen kelompok kelas bawah.
Sinyal ketidakmerataan kue ekonomi tersebut sangat mudah dirasakan, terutama ketika daya tahan dan daya beli kelas menangah serta kelas bawah semakin rentan digoyang, baik oleh inflasi harga komoditas pokok ataupun oleh peningkatan pungutan pajak dan segala jenis tagihan layanan sosial kesejahteraan dari negara.
Sementara di sisi lain, conspicuous consumption (meminjam istilah Thorstein Veblen) para crazy rich and elite-elite politik semakin menggila seiring dengan mesin jejaring ekonomi politik di dalam pemerintahan yang cenderung mengalokasikan kekuatan fiskal nasional dan lokal untuk mendapat feedback keuntungan pembiayaan politik pada kontestasi demokratik selanjutnya.
Dengan kata lain, elite-elite penguasa (atau calon elite penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal.
Sehingga situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuatan fiskal negara terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, termasuk terhadap perbaikan kepentingan ekonomi rakyat, bahkan tak jarang malah berkurang, namun di sisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligarki) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut di satu sisi dan memengaruhi alokasi fiscal negara untuk kepentingan ekonomi di sisi lain.