Nah, dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004).
Selanjutnya, di bawah agenda seting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal.
Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan.
Disparitas pendapatan akan menjadi buah lainya. Lihat saja, kian hari daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes seiring dengan peningkatan kekayaan para elite kekuasaan yang berhasil secara cerdik menyimpul tali politik dan ekonomi selama ini, misalnya.
Kecepatan penambahan harta kelompok tersebut berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.
Secara makro, meminjam bahasa Thomas Piketty, return of investment lebih besar dibanding growth atau pertumbuhan ekonomi (r > g).
Walhasil, kue ekonomi nasional mengerucut ke segelintir elite ekonomi politik (pemilik modal) di satu sisi karena pertumbuhan “return of investment” yang tinggi dan performa ekonomi makro nasional kian hari kian kehilangan taringnya di sisi lain.
Dengan kata lain, secara performa ekonomi, Jokowinomic memang tak pernah mampu mendekati angka pertumbuhan ekonomi yang pernah dijanjikannya saat kampanye tahun 2014 atau 2019 lalu, sebut saja 7 persen, di saat konglomerasi dan para elite ekonomi politik dengan bangga membukukan keuntungan fantastis setiap akhir tahun.
Dari 10 janji ekonomi Jokowi tahun 2014 lalu, hanya angka inflasi yang terpenuhi, sisanya masih jauh panggang dari api.
Lantas dengan latar tersebut, mengapa ada beberapa pihak di dalam jejaring kekuasaan yang berani mengaspirasikan suara sumbang berupa “tiga periode” atau “perpanjangan masa jabatan presiden”?
Berkaca pada rumusan Thomas Piketty di atas, besar kemungkinan suara semacam itu adalah representasi dari kepentingan kelompok atau jejaring ekonomi politik yang menikmati “r” tinggi di saat “g” rendah.
Mereka menikmati “return of investment” yang memuaskan di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang stagnan.
Jadi mau tak mau, upaya untuk mendorong “democracy backsliding” tersebut harus dihentikan oleh para mahasiswa, karena selain tidak Pancasilais secara ekonomi dan politik, juga karena semakin tenggelamnya kekuatan pengimbang di dalam sistem ekonomi politik kita yang harus diisi segera oleh para mahasiswa.
Bukan untuk menjatuhkan Jokowi, tapi untuk menjaga proses institusionalisasi demokrasi nasional alias agar tidak ada lagi wacana tiga periode. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.