Salin Artikel

Perangkap Ekonomi Politik yang Mengintai Konsolidasi Demokrasi Indonesia

Luhut Binsar Panjaitan, yang kerab dikenal sebagai pembisik kelas satu Jokowi, digadang-gadang adalah salah satu aktor utama di balik wacana tersebut.

Sudah berkali-kali wacana sejenis mencuat, mulai dari ocehan Asrul Sani dua tahun lalu, berlanjut dengan gocekan dari surveyor politik senior Qodari, dikembangkan oleh Cak Imin (Muhaimain Iskandar) belum lama ini yang diamini oleh Zulkifli Hasan dan dimoderasi oleh Airlangga Hartarto, dikalibrasi secara halus oleh Partai Solidaritas Indonesia, dan digenapkan oleh bigdata media sosial versi Luhut yang kemudian digocek oleh Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia baru-baru ini.

Wacana tersebut muncul kemungkinan besar sudah menjadi operasi khusus (opsus) dari salah satu pihak atau para pihak yang telah direncanakan secara sistematis.

Dan sangat disayangkan, sikap Jokowi sempat terkesan ambigu, bahkan terlihat santai dan toleran terhadap perkembangan isu perpanjangan masa jabatan presiden.

Dari reaksi awal berupa pernyataan "menampar muka saya" lalu melunak menjadi "taat pada konstitusi."

Pernyataan toleran tersebut menyiratkan bahwa Jokowi berpeluang menerima mandat untuk ketiga kalinya jika lahir kontrak politik baru di parlemen terkait penambahan satu atau dua periode masa jabatan presiden.

Namun wacana penambahan masa jabatan presiden atau penundaan Pilpres adalah wacana penentu apakah Indonesia masih mampu bertahan dengan ambisi konsolidasi demokrasi atau justru kembali terjebak ke dalam jurang nondemokratik ala Orde Baru.

Bagaimana tidak, jika para elite tersebut berhasil menjadikan satu dari dua wacana sebagai kebijakan (diinstitusionalisasi), maka peluang kelompok “kurang demokratis” tersebut dalam mengutak-atik proses institusionalisasi demokrasi nasional akan semakin besar.

Dengan kata lain, jika masa jabatan presiden berhasil diubah menjadi tiga kali atau diperpanjang, maka tidak menutup kemungkinan akan berhasil juga di kemudian hari jika mereka kembali mengusulkan menjadi empat kali atau lima kali atau sama sekali tanpa batas.

Karena itulah mengapa kali ini adalah tahap-tahap krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Artinya, jika siapa saja bisa mempersiapkan langkah-langkah sistematis untuk menunda Pilpres atau memperpanjang masa jabatan presiden dengan dukungan para elite partai, maka tokoh-tokoh yang memang kurang dikenal sebagai tokoh demokrasi tersebut memiliki kekuasaan untuk menundukan kekuatan demokratis, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.

Jika itu sampai terjadi, maka detik-detik napas demokrasi nasional untuk berhenti tinggal menunggu waktu.

Elite-elite prodemokrasi bersama dengan masyarakat sipil memang harus menunjukan penolakan secara masif dan membangun garis batas segera antara mana kekuatan prostatus quo dan kekuatan reformis demokratis.

Dua jempol untuk gerakan mahasiswa beberapa waktu lalu, yang tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Saya ucapkan selamat dan jangan pernah berhenti menjadi pejuang demokrasi.

Lantas mengapa isu ini dimunculkan? Secara ekonomi politik, Benjamin Friedman punya jawaban ciamik tentang melemahnya kekuatan demokrasi tersebut.

Dalam bukunya "The Moral Consequences of Economics Growth" beberapa tahun lalu, Benjamin memostulasikan bahwa jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi ekonomi, bahkan resesi, gerakan-gerakan kanan, baik kanan religius atau gerakan supernasionalis, yang cenderung non demokratis, akan bersemi.

Tapi jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif akan berkembang pesat, seperti menguatnya isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya, yang rerata berakar pada ideologi kiri.

Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Apalagi resesi.

Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin Friedman tersebut, demokrasi memang harus ditopang oleh "prosperity (kemakmuran)" agar dinamikanya stabil dan semakin mapan.

Bahkan Willaim J. Bernstein dalam bukunya "The Birth of Plenty" tahun 2004 lalu menyimpulkan dengan tegas bahwa prosperity (kesejahteraan/kemakmuran) adalah "driver" krusial lahir dan bertahanya demokrasi, bukan sebaliknya.

Memang ada satu dua pengecualian, seperti China misalnya, tapi pada umumnya "prosperity" menjadi bahan pelengkap utama lahir atau bertahannya demokrasi.

Jadi pendeknya, menguatnya suara yang ingin mendorong terjadinya “democracy backsliding,”(meminjam istilah Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman), disebabkan oleh kinerja ekonomi yang buruk di satu sisi dan menguatnya jejaring ekonomi politik yang menikmati konsesi-konsesi ekonomi dari pusat-pusat kekuasaan di sisi lain.

Jejaring ekonomi politik yang biasa dikenal dengan istilah oligarki tersebut menikmati kinerja ekonomi makro yang kurang baik, karena kekayaan nasional justru semakin mengerucut ke atas, yakni ke kelompok 1 persen atau 20 persen kelas atas dan menjauh dari kelompok 40 persen kelas menengah dan 40 persen kelompok kelas bawah.

Sinyal ketidakmerataan kue ekonomi tersebut sangat mudah dirasakan, terutama ketika daya tahan dan daya beli kelas menangah serta kelas bawah semakin rentan digoyang, baik oleh inflasi harga komoditas pokok ataupun oleh peningkatan pungutan pajak dan segala jenis tagihan layanan sosial kesejahteraan dari negara.

Sementara di sisi lain, conspicuous consumption (meminjam istilah Thorstein Veblen) para crazy rich and elite-elite politik semakin menggila seiring dengan mesin jejaring ekonomi politik di dalam pemerintahan yang cenderung mengalokasikan kekuatan fiskal nasional dan lokal untuk mendapat feedback keuntungan pembiayaan politik pada kontestasi demokratik selanjutnya.

Dengan kata lain, elite-elite penguasa (atau calon elite penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal.

Sehingga situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuatan fiskal negara terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, termasuk terhadap perbaikan kepentingan ekonomi rakyat, bahkan tak jarang malah berkurang, namun di sisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligarki) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut di satu sisi dan memengaruhi alokasi fiscal negara untuk kepentingan ekonomi di sisi lain.

Nah, dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004).

Selanjutnya, di bawah agenda seting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal.

Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan.

Disparitas pendapatan akan menjadi buah lainya. Lihat saja, kian hari daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes seiring dengan peningkatan kekayaan para elite kekuasaan yang berhasil secara cerdik menyimpul tali politik dan ekonomi selama ini, misalnya.

Kecepatan penambahan harta kelompok tersebut berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.

Secara makro, meminjam bahasa Thomas Piketty, return of investment lebih besar dibanding growth atau pertumbuhan ekonomi (r > g).

Walhasil, kue ekonomi nasional mengerucut ke segelintir elite ekonomi politik (pemilik modal) di satu sisi karena pertumbuhan “return of investment” yang tinggi dan performa ekonomi makro nasional kian hari kian kehilangan taringnya di sisi lain.

Dengan kata lain, secara performa ekonomi, Jokowinomic memang tak pernah mampu mendekati angka pertumbuhan ekonomi yang pernah dijanjikannya saat kampanye tahun 2014 atau 2019 lalu, sebut saja 7 persen, di saat konglomerasi dan para elite ekonomi politik dengan bangga membukukan keuntungan fantastis setiap akhir tahun.

Dari 10 janji ekonomi Jokowi tahun 2014 lalu, hanya angka inflasi yang terpenuhi, sisanya masih jauh panggang dari api.

Lantas dengan latar tersebut, mengapa ada beberapa pihak di dalam jejaring kekuasaan yang berani mengaspirasikan suara sumbang berupa “tiga periode” atau “perpanjangan masa jabatan presiden”?

Berkaca pada rumusan Thomas Piketty di atas, besar kemungkinan suara semacam itu adalah representasi dari kepentingan kelompok atau jejaring ekonomi politik yang menikmati “r” tinggi di saat “g” rendah.

Mereka menikmati “return of investment” yang memuaskan di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang stagnan.

Jadi mau tak mau, upaya untuk mendorong “democracy backsliding” tersebut harus dihentikan oleh para mahasiswa, karena selain tidak Pancasilais secara ekonomi dan politik, juga karena semakin tenggelamnya kekuatan pengimbang di dalam sistem ekonomi politik kita yang harus diisi segera oleh para mahasiswa.

Bukan untuk menjatuhkan Jokowi, tapi untuk menjaga proses institusionalisasi demokrasi nasional alias agar tidak ada lagi wacana tiga periode. Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/30/06300061/perangkap-ekonomi-politik-yang-mengintai-konsolidasi-demokrasi-indonesia

Terkini Lainnya

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke