JAKARTA, KOMPAS.com - Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang diusulkan pemerintah mengatur bahwa perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana maksimal 4 tahun penjara.
Namun, ketentuan pidana itu diusulkan tidak berlaku jika perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya di bawah 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
"Pemerintah mengusulkan ada menambah satu ayat sebetulnya sehingga memperjelas ketentuan yang sudah ada," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022).
"Yaitu memberikan pengecualian terhadap pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena perkosaan yang kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu," kata Edward melanjutkan.
Baca juga: Revisi KUHP, Nakes yang Lakukan Aborsi terhadap Korban Pemerkosaan Tak Dipidana
Berdasarkan dokumen yang diterima dari pihak Kementerian Hukum dan HAM, ketentuan pidana terhadap perempuan yang melakukan aborsi akan diatur dalam Pasal 469 Ayat (1) sedangkan pengecualiannya diatur dalam ayat berikutnya.
Adapun batas masa kehamilan 12 bulan yang diatur dalam draf RKUHP tersebut mengacu pada standar World Health Organization (WHO).
Dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa pengecualian pidana terhadap perempuan yang melakukan aborsi bukan pengaturan yang baru karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 75 Ayat (1) UU Kesehatan memang menyatakan setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Namun, ayat berikutnya menjelaskan bahwa larangan tersebut dapat dikecualikan berdasarkan dua hal.
Pertama, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Baca juga: Revisi KUHP Dinilai Harus Tegaskan Pemaksaan Aborsi sebagai Kekerasan Seksual
Atau, yang kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Target Rampung Juli 2022
Pemerintah dan DPR menargetkan RKUHP dapat disahkan pada Juli 2022 mendatang.
"Kalau saya tadi berbicara dengan yang mulia teman-teman pimpinan Komisi III sepertinya akan diselesaikan pada bulan Juli 2022," ujar Eddy, sapaan akrab Edward, Rabu kemarin.
Seperti diketahui, pembahasan RKUHP tidak dilakukan dari awal karena berstatus carry over dari DPR periode sebelumnya.
Pada 2019 lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat I tetapi urung dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
Dalam rapat pada Rabu kemarin, Komisi III DPR telah menerima penjelasan dari pemerintah terkait 14 isu dalam RKUHP yang telah disosialisasikan kepada masyarakat.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, selanjutnya DPR akan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah secara formal mengajukan kembali RKUHP ke DPR.
Baca juga: Tak Diatur di UU TPKS, Rumusan Perkosaan Diminta Diperkuat pada Revisi KUHP
"Setelah itu Komisi III bersama dengan pemerintah akan menyisir lebih dahulu, menyepakati redaksi pasal yg mengalami perubahan dan penjelasan pasal. Setelah semuanya disepakati kembali maka akan diputuskan untuk dibawa ke rapat paripurna DPR," kata Arsul, Kamis (26/5/2022).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.