Hal ini ditengarai membuat para terpidana memilih menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.
Baca juga: ICW Sebut Kejagung Banyak Beri Tuntutan Ringan ke Koruptor, Komjak: Kasus Harus Dilihat secara Utuh
"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, memang masih terdapat banyak kendala dalam penegakan hukum kasus korupsi, terutama menyangkut proses penuntutan dan putusan di pengadilan.
Menurut Agil memang harus ada terobosan dari pemerintah jika memang sungguh-sungguh memerangi tindak pidana korupsi.
Yang paling utama, kata Agil, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus dituntut berkomitmen untuk memberantas korupsi. Salah satu wujud komitmen itu adalah melalui pembenahan regulasi.
"Misalnya, RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan perubahan UU Tipikor mesti segara disahkan," ujar Agil saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/5/2022).
Menurut Agil, jika pemerintah bisa menyusun dan mengesahkan sejumlah undang-undang itu, maka dia meyakini akan sangat membantu aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan dan KPK, dalam menindak pelaku korupsi dengan mengedepankan pendekatan modern berupa pemulihan kerugian keuangan negara.
"Sebab, UU Tipikor saat ini terbukti tidak cukup ampuh memberikan efek jera terhadap pelaku," ujar Agil.
(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Dani Prabowo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.