JAKARTA, KOMPAS.com - 16 April diperingati sebagai Hari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pada tahun 2022 ini, Kopassus menginjak usia yang ke-70.
Prajurit Kopassus juga dikenal sebagai "Pasukan Baret Merah". Ini karena atribut baret merah yang dikenakan Kopassus.
Baret itu dilengkapi lambang Tribuana Candraca Satya Dharma yang berarti prajurit yang telah menguasai taktik dan teknik ilmu perang khusus, mahir dan andal bergerak secara cepat di berbagai medan.
Bervet Kopassus melambangkan bahwa prajurit-prajurit telah digodok dalam kancah pendidikan atau latihan yang membara laksana api, sehingga memiliki keberanian, kecepatan, dan keterampilan sebagai prajurit komando yang mencakup kemampuan di bidang operasi darat, laut, dan udara.
Baca juga: Kopassus dan Legenda Pasukan Hantu Putih di Kongo
Lahirnya Korps Baret Merah TNI Angkatan Darat itu memiliki sejarah yang panjang. Ini tak lepas dari peristiwa pemberontakan di sejumlah daerah di awal masa kemerdekaan Indonesia.
Dengan motto "Berani, benar, berhasil", berikut sejarah pembentukan Kopassus.
Melansir laman kopassus.mil.id, Juli 1950, pemberontakan pecah di Maluku oleh kelompok yang menamakan diri Republik Maluku Selatan (RMS).
Merespons peristiwa ini, pimpinan Angkatan Perang RI saat itu langsung mengarahkan pasukan untuk menumpas pemberontakan kelompok tersebut.
Operasi ini dipimpin langsung oleh Panglima Tentara Teritorium III Kolonel AE Kawilarang, kemudian sebagai komandan operasi ditunjuk Letkol Slamet Riyadi.
Baca juga: Mengenang Suparlan, Prajurit Kopassus yang Lawan Ratusan Pemberontak
Operasi ini pada akhirnya berhasil menumpas gerakan pemberontakan. Namun, pada saat bersamaan, banyak pihak TNI berguguran.
Setelah mengkaji pertempuran tersebut, ditarik kesimpulan bahwa musuh dengan kekuatan relatif lebih kecil mampu menggagalkan serangan TNI yang kekuatannya jauh lebih besar.
Ini karena semangat pasukan musuh yang lebih tinggi dan perlengkapannya lebih lengkap.
Tak hanya itu, taktik, gerakan perorangan, dan pengalaman tempur yang baik didukung oleh kemampuan tembak tepat juga menjadi faktor yang menyebabkan banyak pasukan TNI gugur.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Letkol Slamet Riyadi akhirnya mempelopori pembentukan suatu satuan prajurit.
Satuan prajurit itu diharapkan menjadi "pemukul" yang dapat digerakkan secara cepat dan tepat untuk menghadapi berbagai sasaran, sekalipun di medan yang berat.