Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembentukan 3 Provinsi Baru di Papua untuk Siapa?

Kompas.com - 15/04/2022, 07:15 WIB
Vitorio Mantalean,
Bagus Santosa

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemekaran 3 provinsi baru di Papua yang saat ini bergulir di DPR RI menimbulkan tanda tanya.

Adapun, rencana undang-undang (RUU) pembentukan 3 provinsi di Papua, yaitu Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan, telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR oleh Badan Legislatif.

Sejumlah pihak menengarai bahwa pembentukan 3 provinsi baru ini sarat kepentingan elite dan tidak pernah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

UU Otsus Papua masih diuji materi di MK

Pemekaran di Papua pernah terjadi pada tahun 2001. Kala itu, Papua dan Papua Barat memperoleh otonomi khusus (otsus) melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.

Dalam peraturan itu, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara yang atas amanat otonomi khusus menjadi representasi kultural orang asli Papua (OAP).

Dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008. Lalu, pada 2021, bertepatan dengan usainya Otsus, evaluasi pun dilakukan.

Baca juga: UU Otsus Masih Diuji Materi di MK, DPR Didesak Tunda Pemekaran Provinsi Baru di Papua

Hasil evaluasi oleh Jakarta, UU Otsus dinilai perlu direvisi lagi oleh DPR RI, dan menghasilkan sejumlah perubahan baru terkait pelaksanaan otsus di Papua.

Beleid tentang pemekaran wilayah, misalnya, dimodifikasi. Selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.

Selain itu, ada revisi sejumlah pasal lain yang dianggap kemunduran bagi kekhususan otonomi dan demokrasi Papua. Evaluasi dan revisi ini disebut tanpa melibatkan orang Papua, dalam hal ini melalui MRP.

"Evaluasi itu sendiri tanpa ada keterlibatan rakyat Papua dan lahir lah UU (Otsus) Nomor 2 Tahun 2021. Itu penuh dengan pasal-pasal yang merugikan hak-hak dasar orang asli Papua, maka MRP melakukan judicial review ke MK (September 2021)," ungkap Ketua MRP Timotius Murib dalam diskusi virtual yang dihelat Public Virtue Institute, Kamis (14/4/2022).

Dikutip dari laman MK, para pemohon memohon pengujian beberapa pasal, seperti Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus 2021.

Pembentukan 3 provinsi baru di Papua ini juga disebut tanpa melibatkan MRP, karena UU Otsus hasil revisi kedua oleh DPR RI mengizinkan demikian.

Namun, pemekaran wilayah itu dinilai tidak etis karena dasar hukumnya saat ini masih berproses di MK.

"Berhenti dulu sampai ada putusan MK yang pasti, final. Kalau sedang diperkarakan jangan dulu proses," seru Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, meminta pemerintah dan parlemen menghormati MRP sebagai representasi kultural OAP serta bersabar hingga ada putusan MK tentang UU Otsus 2021.

"Kalau pemerintah dan DPR memaksakan, masyarakat akan curiga, sebenarnya apakah pemekaran wilayah untuk kepentingan orang asli Papua, apakah untuk kepentingan pembangunan kesejahteraan di Papua, keadilan di Papua, atau sekadar kepentingan bisnis, konglomerasi yang besar," ungkap Usman.

Dianggap belum terlalu urgen

Usman Hamid mempertanyakan keputusan DPR dalam membentuk 3 provinsi baru di Papua saat ini, karena pemekaran wilayah bukan kebijakan sembarang, apalagi di Papua.

"Ingat, pemekaran wilayah terhadap Papua ini bertolak belakang dengan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang sedang memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonom baru (DOB)," kata Usman.

"Pemerintah beralasan pembentukan DOB selama ini tidak mendatangkan PAD (pendapatan asli daerah) tinggi. Kedua, dana operasional pembentukan DOB tidak lagi tersedia memadai. Ketiga, dana negara sedang dialokasikan untuk penanggulangan wabah dan prioritas infrastruktur kesehatan dan pendidikan," jelasnya.

Baca juga: Pembentukan 3 Provinsi Baru Dikhawatirkan Jadi Dalih untuk Menambah Pasukan di Papua

Di sisi lain, Timotius Murib menyatakan, masih banyak pekerjaan rumah di Tanah Papua yang penting untuk diselesaikan pemerintah.

Masih ada problem politik, pelanggaran hak asasi manusia, konflik sosial terkait batas tanah adat, masalah kesejahteraan dan akses kesehatan, diskriminasi, hingga peminggiran warga lokal yang perlu dicarikan solusinya.

Timotius berpendapat, pemekaran wilayah bukan jawaban atas permasalahan kompleks semacam itu, sementara Jakarta terkesan menyederhanakan persoalan di Papua dengan satu jawaban yakni pemekaran wilayah.

"Pemekaran itu baik, pemekaran kampung, distrik, kabupaten, provinsi. Itu biasa. Tapi bukan sekarang. Perbaiki dulu situasi kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, kesehatan dan lain-lain di Papua, di 28 kota dan kabupaten," ungkap Timotius dalam kesempatan yang sama.

"Menyelesaikan masalah di Tanah Papua bukan dengan melakukan pemekaran. Ini solusi yang salah," tegasnya.

Sebelumnya, peneliti Papua dari Universitas Papua I Ngurah Suryawan juga mempertanyakan urgensi pembentukan 3 provinsi baru ini.

Ia menyoroti minimnya kajian mendalam serta tidak dilibatkannya rakyat Papua dalam keputusan ini.

“Desain pemekaran dalam konteks di Papua itu seharusnya harus matang persiapannya, tidak bisa secepat yang ada sekarang, perlu kajian mendalam,” kata Ngurah kepada Kompas.com, Jumat (8/4/2022).

“Saya tidak melihat sampai sekarang, apakah misalnya daerah-daerah pemekaran di Papua Barat seperti Maybrat, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, itu kesejahteraan dan pelayanan publiknya meningkat. Itu seharusnya dievaluasi dulu sebelum mendesain ulang pemekaran baru,” jelas dia.

Ada simbiosis mutualisme elite lokal dan elite pusat

Ngurah menjelaskan bahwa ada berbagai kepentingan Jakarta yang bisa dimasukkan ke Papua melalui pemekaran wilayah semacam ini.

Yang paling kasat mata, pasukan keamanan di Bumi Cenderawasih bakal bertambah secara besar-besaran sebagai konsekuensi langsung dari pembentukan 3 provinsi baru.

Masuknya aparat keamanan dalam jumlah besar selaras dengan keperluan untuk mengamankan investasi dan bisnis serta meredam aspirasi kemerdekaan Papua.

Baca juga: MRP Sebut Provinsi Baru Papua Bukan Aspirasi Rakyat, melainkan Elite Lokal

Provinsi-provinsi baru itu akan memiliki kodam dan polda baru, beserta satuan-satuan di bawahnya yang berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang kian masif.

"Personel polda Papua pada 2021 sekitar 11.000 personel. Maka dengan adanya 3 provinsi baru, angka ini (secara kasar) bisa bertambah 3 kali lipat," ujar Direktur Eksekutif Public Virtue Institute Miya Irawati.

Ia juga menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait besarnya kontribusi korporasi-korporasi pertambangan dan penggalian di Papua atas pendapatan domestik regional bruto (PDRB) wilayah tersebut, yakni 28,27 persen per 2020 lalu.

"Untuk kepentingan siapa penambahan kodam atau polda (melalui 3 provinsi baru), untuk Papua, untuk negara, atau untuk melindungi perusahaan di Papua?" ungkap Miya.

Tanpa pemekaran saja, Kabupaten Intan Jaya yang kerap jadi pusat konflik antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengalami lonjakan pos militer dari 2 pada 2019 menjadi 17 pos pada 2021 karena "alasan keamanan", berdasarkan data Amnesty Internasional.

Padahal, pengerahan pasukan keamanan dalam jumlah besar di Papua sejak 2019 telah menjadi sorotan dan dianggap kontraproduktif dalam upaya mencari jalan damai atas masalah politik di Papua.

"Laporan Amnesty terbaru memberi penjelasan betapa pembunuhan di luar hukum masih terjadi di Papua, khususnya di Intan Jaya. Dan bukan hanya pembunuhan tetapi juga kekerasan, pengungsian, dan juga pelanggaran HAM lainnya," jelas Usman.

"Banyak sekali kehadiran militer ini yang dituangkan dalam bentuk pemeriksaan-pemeriksaan kepada warga yang mau ke pasar, hasil belanjaan diperiksa, mereka yang berambut gimbal/brewok, itu dianggap ciri khas gerakan separatis," lanjutnya.

Di sisi lain, MRP menuding pembentukan 3 provinsi baru di Papua merupakan siasat elite-elite lokal untuk kepentingan kekuasaan mereka.

"Yang bikin kacau orang Papua, elite yang ada di Papua dan elite yang di Jakarta duduk atas nama orang Papua," kata Timotius Murib.

Elite-elite yang ia maksud adalah wali kota dan bupati yang menyelenggarakan deklarasi pembentukan provinsi baru di Papua.

Mereka juga ditengarai memobilisasi massa supaya deklarasi pembentukan provinsi baru ini dianggap didukung oleh rakyat Papua.

Baca juga: Alasan Pembentukan 3 Provinsi Baru di Papua Dipertanyakan

Atas keadaan ini, MRP menilai Jakarta tidak dapat menggunakan alasan bahwa pemekaran wilayah ini berdasarkan aspirasi dari Papua.

"Pemerintah menggunakan dasar yang mana. Kalau aspirasi para bupati dan wali kota deklarasi untuk pemekaran, itu oknum-oknum pejabat," kata Timotius.

"Karena tinggal 1-2 hari lagi mereka berhenti 2 periode, sehingga tidak ada job, sehingga mereka cari job supaya mereka duduk menikmati jabatan. Untuk itu mereka berjuang (pemekaran wilayah)," lanjutnya.

Timotius bahkan menantang para pejabat di tingkat pusat untuk turun langsung ke Papua dan mendengarkan aspirasi masyarakat akar rumput soal pemekaran wilayah.

Ia menyebut bahwa mayoritas penduduk Papua di akar rumput menolak upaya pembentukan 3 provinsi baru ini, sebagaimana penolakan yang sama pernah disuarakan atas perpanjangan Otsus pada 2021 lalu.

"Mayoritas OAP tidak menghendaki pemekaran wilayah atau provinsi. Itu bukan (aspirasi) akar rumput. Akar rumput mana yang datang (untuk deklarasi pemekaran wilayah)," kata Timotius.

"Jadi, setop. Jangan pemerintah pusat jadikan itu sebagai dasar pemekaran," tambahnya.

Simbiosis mutualisme antara kepentingan Jakarta dan elite lokal Papua juga tercermin dalam kajian yang dilakukan I Ngurah Suryawan dalam disertasinya berjudul “Siasat Elite Mencuri Kuasa di Kabupaten Manokwari, Papua Barat” (2015).

Ia menjelaskan bagaimana elite-elite lokal berupaya melakukan serangkaian koordinasi dan lobi-lobi ke Jakarta guna memuluskan pemekaran wilayah di Papua.

“Ini (pemekaran wilayah) peluang yang diciptakan dan disadari negara, dimanfaatkan para elite (lokal Papua). Disadari betul oleh negara, bahwa (elite) Papua harus diberi ruang, diberi ‘mainan’, dikasih panggung,” kata Ngurah.

Hal ini tampak dari apa yang sudah terjadi di tingkat kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat.

Pemekaran wilayah justru jadi ajang elite-elite lokal berebut jabatan di birokrasi, akses anggaran, proyek, dan kue-kue kekuasaan lainnya.

Beberapa kepala daerah, sebut saja eks Bupati Maybrat Bernard Sagrim dan eks Bupati Sorong Selatan Otto Ihalauw, sudah terjerat kasus korupsi.

“Saya kira ujungnya kita akan melihat terbentuknya kelompok-kelompok kelas menengah, elite lokal yang sejahtera karena pemekaran ini. Di sisi lain, masyarakat kecil tidak akan pernah mendapatkan kesejahteraan karena memang sirkulasi kekuasaannya ada di tangan mereka (elite),” ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com