JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pihak mempertanyakan rencana pembentukan 3 provinsi baru di Papua, yaitu Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan.
Sebelumnya, rencana pemekaran wilayah ini sudah disahkan di Badan Legislatif DPR RI sebagai rancangan undang-undang (RUU) inisiatif DPR.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mempertanyakan keputusan pemerintah karena pemekaran wilayah bukan kebijakan sembarangan, apalagi di Papua.
"Ingat, pemekaran wilayah terhadap Papua ini bertolak belakang dengan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang sedang memberlakukan moratorium pembentukan daerah otonom baru (DOB)," kata Usman dalam diskusi virtual yang dihelat Public Virtue Institute, Kamis (14/4/2022)
"Pemerintah beralasan pembentukan DOB selama ini tidak mendatangkan PAD (pendapatan asli daerah) tinggi. Kedua, dana operasional pembentukan DOB tidak lagi tersedia memadai. Ketiga, dana negara sedang dialokasikan untuk penanggulangan wabah dan prioritas infrastruktur kesehatan dan pendidikan," jelasnya.
Baca juga: MRP Sebut Provinsi Baru Papua Bukan Aspirasi Rakyat, melainkan Elite Lokal
Urgensi pembentukan 3 provinsi baru di Papua kian dipertanyakan karena upaya ini bukan usul orang asli Papua (OAP), melainkan keputusan sepihak Jakarta.
Dalam membuat RUU pembentukan 3 provinsi baru ini, DPR RI juga tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara sebagai representasi kultural OAP.
MRP juga memastikan, pembentukan 3 provinsi baru ini bukan aspirasi rakyat Papua di kalangan akar rumput yang justru menolak rencana ini.
DPR RI juga pada 2021 merevisi untuk kali kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, membuat pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih dapat diambil Jakarta tanpa melibatkan MRP.
"Secara keseluruhan kalau kita lihat di skala nasional memang tengah terjadi pemusatan kembali kendali pemerintahan daerah ke tangan pemerintahan pusat," kata Usman.
Ketua MRP Timotius Murib menyatakan, masih banyak pekerjaan rumah di Tanah Papua yang penting untuk diselesaikan pemerintah.
Masih ada problem politik, pelanggaran hak asasi manusia, konflik sosial terkait batas tanah adat, masalah kesejahteraan dan akses kesehatan, diskriminasi, hingga peminggiran warga lokal yang perlu dicarikan solusinya.
Baca juga: MRP Berharap Papua Diperlakukan seperti Aceh oleh Pemerintah Indonesia
Timotius berpendapat, pemekaran wilayah bukan jawaban atas permasalahan kompleks semacam itu, sementara Jakarta terkesan menyederhanakan persoalan di Papua dengan satu jawaban yakni pemekaran wilayah.
"Pemekaran itu baik, pemekaran kampung, distrik, kabupaten, provinsi. Itu biasa. Tapi bukan sekarang. Perbaiki dulu situasi kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, kesehatan dan lain-lain di Papua, di 28 kota dan kabupaten," ungkap Timotius dalam kesempatan yang sama.
"Menyelesaikan masalah di Tanah Papua bukan dengan melakukan pemekaran. Ini solusi yang salah," tegasnya.
Sebelumnya, peneliti Papua dari Universitas Papua I Ngurah Suryawan juga mempertanyakan urgensi pembentukan 3 provinsi baru ini.
Ia menyoroti minimnya kajian mendalam serta tidak dilibatkannya rakyat Papua dalam keputusan ini.
“Desain pemekaran dalam konteks di papua itu seharusnya harus matang persiapannya, tidak bisa secepat yang ada sekarang, perlu kajian mendalam,” kata Ngurah kepada Kompas.com, Jumat (8/4/2022).
Baca juga: UU Otsus Masih Diuji Materi di MK, DPR Didesak Tunda Pemekaran Provinsi Baru di Papua
“Saya tidak melihat sampai sekarang, apakah misalnya daerah-daerah pemekaran di Papua Barat seperti Maybrat, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, itu kesejahteraan dan pelayanan publiknya meningkat. Itu seharusnya dievaluasi dulu sebelum mendesain ulang pemekaran baru,” jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.