Pada Pasal 67 disebutkan, hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak atas pemulihan.
Baca juga: UU TPKS Atur Pelecehan Seksual Nonfisik, Pelaku Bisa Dipenjara 9 Bulan
Hak atas penanganan termasuk di dalamnya hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan hingga pemulihan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, dan hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis.
Hak atas pelindungan meliputi perlindugan dari ancaman atau kekerasan pekaku dan pihak lain, pelindungan atas kerahasiaan identitas, pelidnungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban, pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan pelindungan korban atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas TPKS yang telah dilaporkan.
Baca juga: Sebut UU TPKS Produk Hukum Terobosan, Jaleswari: Hasil Kolaborasi Seluruh Elemen Bangsa
Adapun hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan atau kompensasi, dan reintegrasi sosial.
Hak korban terhadap pemulihan mulai dari sebelum hingga setelah proses peradilan.
UU TPKS mengatur mengenai syarat bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual.
Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 21 UU TPKS. Pada Pasal 21 Ayat (1) UU TPKS disebutkan, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara TPKS harus memenuhi persyaratan, memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban.
Selain itu, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual juga harus sudah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara TPKS.
Baca juga: UU TPKS: Memaksa Penggunaan Kontrasepsi dan Sterilisasi Bisa Dipenjara 9 Tahun
Kendati demikian, bila penyidik, penuntut umum, atau hakim belum memenuhi persyaratan yang disebutkan, maka bisa ditangani oleh aparat penegak hukum yang berpengalaman.
"Dalam hal belum terdapat penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditangani oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang berpengalaman dalam menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang," begitu bunyi Pasal 21 Ayat (2) UU TPKS.
UU TPKS salah satunya mengatur soal restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.
"Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya," demikian Pasal 1 angka 20 UU.
Baca juga: Pengesahan UU TPKS Beri Ruang Segar bagi Perempuan Indonesia
Merujuk Pasal 30 Ayat (2) UU TPKS, restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Kemudian, menurut Pasal 31, restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa.
Merujuk Pasal 33 Ayat (1) UU TPKS, restitusi diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima.
Jaksa wajib menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian restitusi kepada terpidana pelaku kekerasan seksual, korban, dan LPSK dalam 7 hari sejak salinan putusan pengadilan diterima.
Baca juga: ICJR Sebut UU TPKS Atur Pidana Kekerasan Seksual Berorientasi Korban
Apabila pemberian restitusi tak dipenuhi sampai batas waktu yang ditentukan, korban atau ahli warisnya harus memberitahukan hal tersebut ke pengadilan.
Selanjutnya, pengadilan akan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
"Hakim dalam putusan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran restitusi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," bunyi Pasal 33 Ayat 5 UU TPKS.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.