Ketentuan tentang presidential threshold pun dinilai lebih menguntungkan partai politik lama.
Parpol lama dinilai akan cenderung mempertahankan kekuasaannya dan menutup peluang perubahan atau reformasi.
Padahal, kekuasaan yang bertahan lama cenderung koruptif. Oleh karena itu, membutuhkan pembaruan.
Selain itu, menurut para pemohon, ketentuan tentang presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahan.
Padahal, perlakuan yang adil dan setara seluruh warga negara telah diatur secara jelas dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.
Presidential threshold dinilai mempersempit peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif dalam kontestasi pemilihan presiden.
"Pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu juga telah mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses pemilu presiden dan/atau wakil presiden," bunyi petikan permohonan.
Konsekuensi logis dari berlakunya presidential threshold, menurut pemohon, yakni hanya menghadirkan 2 pasangan calon presiden.
Berkaca dari Pemilu 2019, minimnya jumlah calon presiden terbukti menghadirkan politik identitas, sebaran berita bohong atau hoaks, hingga eksploitasi ujaran kebencian yang menjadikan masyarakat terpecah menjadi 2 kelompok besar, mengikuti pasangan calon presiden yang didukungnya.
Presidential threshold dinilai telah melahirkan kegaduhan politik atau polarisasi dukungan politik yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman dan keutuhan masyarakat.
Baca juga: Penghapusan Presidential Threshold Dinilai Bisa Redam Polarisasi
Oleh karenanya, menurut La Nyalla, Yusril, dkk, Pemilu 2019 telah memberikan pelajaran berharga bagi para pembentuk kebijakan (policy maker) untuk mengeliminasi atau menghapus pemberlakuan presidential threshold.
"Penerapan ambang batas pencalonan presiden telah menyebabkan ekses-ekses negatif bagi demokrasi Indonesia, seperti candidacy buying (pembelian pencalonan), penyingkiran pesaing di tahap awal sebelum pemilihan, dan percukongan politik yang telah menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal yakni menjadikan uang sebagai landasan untuk memilih pemimpin," bunyi permohonan.
Menurut Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan salah satu amanat reformasi yang berupaya memperkuat sistem pemerintahan presidensil.
Namun, menurut para pemohon, amanat ini menjadi terderogasi akibat berlakunya presidential threshold. Sebab, ketentuan itu memaksa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai atau koalisi partai politik demi memenuhi syarat ambang batas.
Baca juga: Yusril: Tak Mungkin Tunda Pemilu, apalagi Perpanjang Masa Jabatan Presiden
Presidential threshold dinilai bisa mereduksi inti sistem presidensial, yakni mengedepankan kualitas kandidat agar hadir presiden yang bukan hanya didukung oleh besaran kursi atau suara parpol, tetapi juga mempunyai kualitas kepemimpinan yang terbaik.
Sebaliknya, La Nyall, Yusril, dkk menilai, penghapusan Pasal 222 UU Pemilu justru akan mendorong partai politik untuk mengajukan calon-calon terbaiknya. Sebab, jika tidak, calon tersebut akan dikalahkan oleh calon-calon alternatif yang muncul dan lebih memiliki kapasitas.
"Kontestasi pemilihan presiden akan menjadi lebih terbuka dan transparan yang mendorong partai politik memunculkan calon terbaik untuk dapat merebut sebanyak-banyak hati pemilih," demikian bunyi permohonan.
Atas alasan-alasan tersebut, La Nyalla, Yusril, dan para pemohon lainnya meminta Mahkamah mengabulkan permohonan mereka untuk membatalkan ketentuan tentang presidential threshold dalam UU Pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.