Salin Artikel

Alasan Yusril dan La Nyalla Gugat "Presidential Threshold" ke MK: Nilai Diskriminatif hingga Halangi Hak "Nyapres"

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah elite politik mengajukan gugatan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kali ini, giliran pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) RI dan Partai Bulan Bintang (PBB).

DPD RI diwakili oleh ketuanya, La Nyalla Mattalitti, dan tiga Wakil Ketua DPD, yakni Nono Sampono, Mahyudin, serta Sultan Bachtiar Najamudin.

Sementara itu, PBB diwakili oleh Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor.

Dari berkas permohonan yang diunggah di laman resmi MK, tercatat permohonan tersebut diajukan pada 25 Maret 2022.

Dalam permohonannya, La Nyalla, Yusril, dan lainnya meminta supaya Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petikan petitum pemohon.

Bukan sekali dua kali ini saja ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold digugat ke MK.

Banyak pihak yang berulang kali meminta supaya Majelis Hakim MK membatalkan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu.

Berkas permohonan gugatan La Nyalla dan Yusril menyebutkan, ketentuan tersebut telah digugat setidaknya sebanyak 19 kali.

Dari 19 perkara, hanya 3 yang pokok perkaranya dipertimbangkan dengan putusan ditolak. Sisanya, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Pasal 222 UU Pemilu sendiri berbunyi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".

Lantas, apa alasan La Nyalla hingga Yusril kini mengajukan gugatan tentang ketentuan presidential threshold?

1. Halangi hak DPD

Menurut La Nyalla dan kawan-kawan, ketentuan tentang presidential threshold dalam UU Pemilu telah merugikan mereka. Ketentuan tersebut dinilai menghalangi hak para anggota DPD untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.

Kehadiran presidential threshold dianggap hanya memberikan akses khusus kepada para elite politik yang memiliki kekuatan, tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.

Padahal, begitu banyak putra-putri daerah yang hebat dan mampu serta sangat layak untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.

"Bahwa eksistensi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu nyatanya telah merugikan daerah dan semakin memperlebar kesenjangan antara daerah dan pusat," demikian petikan berkas permohonan.

2. Tak bisa usung capres

Sementara itu, menurut Yusril, presidential threshold telah menghalangi partainya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Sebab, pada pemilu sebelumnya, suara PBB hanya sebesar 1.099.849 atau 0,79 persen.

Adapun untuk dapat mengusung presiden dan wakil presiden, partai politik, atau gabungan parpol setidaknya harus mengantongi 20 persen dari jumlah kursi DPR.

"Bahwa sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945," bunyi permohonan.

Menurut Yusril, ketentuan tentang presidential threshold telah melanggar Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945.

Pasal tersebut mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu atau sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

3. Dikontrol oligarki

Menurut La Nyalla, Yusril, dkk, berlakunya presidential threshold menyebabkan pemilu di Indonesia mudah dikontrol oleh oligarki dan pemodal.

Dengan begitu, hasil pemilu bukan merepresentasikan pilihan rakyat atau pilihan parpol secara substansial, melainkan hanya pilihan segelintir elite politik yang dipengaruhi kepentingan bisnis oligarki.

Menurut para pemohon, pemodal akan terus-menerus diuntungkan dan semakin memperkuat posisinya melalui keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu.

"Keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu yang menghilangkan probabilitas bagi partai politik
untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri, menjadi ruang munculnya fenomena hijacking democracy (pembajakan demokrasi), yang menempatkan pemodal sebagai pihak yang paling berdaulat di Indonesia, bukan lagi rakyat," bunyi permohonan.

4. Menutup perubahan

Ketentuan tentang presidential threshold dinilai mengekang aspirasi rakyat untuk tidak berubah selama 5 tahun.

Sebab, Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan ambang batas pengusungan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen perolehan kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.

"Mana mungkin syarat pencalonan presiden tersusun dari hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Tentu selama 5 tahun berjalannya pemerintah, terdapat perubahan aspirasi politik dari rakyat," bunyi permohonan.

Ketentuan tentang presidential threshold pun dinilai lebih menguntungkan partai politik lama.

Parpol lama dinilai akan cenderung mempertahankan kekuasaannya dan menutup peluang perubahan atau reformasi.

Padahal, kekuasaan yang bertahan lama cenderung koruptif. Oleh karena itu, membutuhkan pembaruan.

5. Sebabkan diskriminasi

Selain itu, menurut para pemohon, ketentuan tentang presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahan.

Padahal, perlakuan yang adil dan setara seluruh warga negara telah diatur secara jelas dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.

Presidential threshold dinilai mempersempit peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif dalam kontestasi pemilihan presiden.

"Pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu juga telah mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses pemilu presiden dan/atau wakil presiden," bunyi petikan permohonan.

6. Ciptakan polarisasi

Konsekuensi logis dari berlakunya presidential threshold, menurut pemohon, yakni hanya menghadirkan 2 pasangan calon presiden.

Berkaca dari Pemilu 2019, minimnya jumlah calon presiden terbukti menghadirkan politik identitas, sebaran berita bohong atau hoaks, hingga eksploitasi ujaran kebencian yang menjadikan masyarakat terpecah menjadi 2 kelompok besar, mengikuti pasangan calon presiden yang didukungnya.

Presidential threshold dinilai telah melahirkan kegaduhan politik atau polarisasi dukungan politik yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman dan keutuhan masyarakat.

Oleh karenanya, menurut La Nyalla, Yusril, dkk, Pemilu 2019 telah memberikan pelajaran berharga bagi para pembentuk kebijakan (policy maker) untuk mengeliminasi atau menghapus pemberlakuan presidential threshold.

"Penerapan ambang batas pencalonan presiden telah menyebabkan ekses-ekses negatif bagi demokrasi Indonesia, seperti candidacy buying (pembelian pencalonan), penyingkiran pesaing di tahap awal sebelum pemilihan, dan percukongan politik yang telah menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal yakni menjadikan uang sebagai landasan untuk memilih pemimpin," bunyi permohonan.

7. Pelemahan sistem presidensial

Menurut Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan salah satu amanat reformasi yang berupaya memperkuat sistem pemerintahan presidensil.

Namun, menurut para pemohon, amanat ini menjadi terderogasi akibat berlakunya presidential threshold. Sebab, ketentuan itu memaksa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai atau koalisi partai politik demi memenuhi syarat ambang batas.

Presidential threshold dinilai bisa mereduksi inti sistem presidensial, yakni mengedepankan kualitas kandidat agar hadir presiden yang bukan hanya didukung oleh besaran kursi atau suara parpol, tetapi juga mempunyai kualitas kepemimpinan yang terbaik.

Sebaliknya, La Nyall, Yusril, dkk menilai, penghapusan Pasal 222 UU Pemilu justru akan mendorong partai politik untuk mengajukan calon-calon terbaiknya. Sebab, jika tidak, calon tersebut akan dikalahkan oleh calon-calon alternatif yang muncul dan lebih memiliki kapasitas.

"Kontestasi pemilihan presiden akan menjadi lebih terbuka dan transparan yang mendorong partai politik memunculkan calon terbaik untuk dapat merebut sebanyak-banyak hati pemilih," demikian bunyi permohonan.

Atas alasan-alasan tersebut, La Nyalla, Yusril, dan para pemohon lainnya meminta Mahkamah mengabulkan permohonan mereka untuk membatalkan ketentuan tentang presidential threshold dalam UU Pemilu.

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/30/07044791/alasan-yusril-dan-la-nyalla-gugat-presidential-threshold-ke-mk-nilai

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke