JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keragaman pilihan calon presiden dan wakil presiden bisa meredam polarisasi di masyarakat.
Titi pun berpendapat, penghapusan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold merupakan pilihan yang bijaksana menyambut Pemilu 2024.
"Keragaman pilihan lebih mampu meredam polarisasi disintegratif di masyarakat. Karena itu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden merupakan langkah lebih logis yang bisa diambil untuk meredam potensi dan residu keterbelahan di masyarakat," ujar Titi dalam diskusi daring yang digelar Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Jumat (4/2/2022).
Baca juga: Gerindra Janji Akan Terima Keputusan MK tentang Presidential Threshold 20 Persen
Menurut Titi, panjang atau pendeknya masa kampanye pemilu bukan akar masalah keterbelahan di masyarakat.
Dia mengatakan, ada langkah strategis yang bisa diambil oleh pembuat undang-undang dan pengambil keputusan, yaitu dengan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden 20 persen.
"Soal masa kampanye ini hilirnya saja, ada hulunya yang lebih strategis diambil oleh pembuat undang-undang dan keputusan," katanya.
Dalam kesempatan itu, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi pun mengatakan, panjang atau pendeknya masa kampanye pemilu bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu konflik di masyarakat.
Menurut dia, konflik dalam pemilu bisa muncul karena beragam hal. Ia menyebutkan, antara lain, sistem pemilu, jumlah dan perilaku kandidat, serta integritas penyelenggara.
"Masa kampanye bukan satu-satunya yang memicu konflik dalam pemilu. Jadi panjang atau pendeknya bukan satu-satunya faktor yang menentukan konflik keras atau tidak," kata Pramono.
Sementara itu, saat ini, berbagai pihak mengajukan gugatan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para penggugat meminta ketentuan ambang batas diubah dari 20 persen menjadi 0 persen. Adapun ketentuan itu diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Catatan Kompas.com, pihak yang mengajukan gugatan, antara lain, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan tiga anggota DPD RI Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama.
Ada pula seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Jakarta Timur, Ikhwan Mansyur Situmeang dan 27 diaspora Indonesia yang tersebar di Amerika Serikat, Prancis, hingga Singapura yang mengajukan gugatan yang sama ke MK.
Baca juga: PKS Tolak Presidential Threshold, Koalisi Partai Islam, hingga Penundaan Pemilu
Dalam gugatannya, mereka menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden membatasi hak konstitusional warga untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden yang dihasilkan partai politik peserta dalam pemilu.
Selain itu, penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dianggap potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.
Para penggugat sepakat, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu bertentangan dengan UUD 1945.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.