Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penghapusan Presidential Threshold Dinilai Bisa Redam Polarisasi

Kompas.com - 04/02/2022, 17:58 WIB
Tsarina Maharani,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keragaman pilihan calon presiden dan wakil presiden bisa meredam polarisasi di masyarakat.

Titi pun berpendapat, penghapusan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold merupakan pilihan yang bijaksana menyambut Pemilu 2024.

"Keragaman pilihan lebih mampu meredam polarisasi disintegratif di masyarakat. Karena itu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden merupakan langkah lebih logis yang bisa diambil untuk meredam potensi dan residu keterbelahan di masyarakat," ujar Titi dalam diskusi daring yang digelar Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Jumat (4/2/2022).

Baca juga: Gerindra Janji Akan Terima Keputusan MK tentang Presidential Threshold 20 Persen

Menurut Titi, panjang atau pendeknya masa kampanye pemilu bukan akar masalah keterbelahan di masyarakat.

Dia mengatakan, ada langkah strategis yang bisa diambil oleh pembuat undang-undang dan pengambil keputusan, yaitu dengan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

"Soal masa kampanye ini hilirnya saja, ada hulunya yang lebih strategis diambil oleh pembuat undang-undang dan keputusan," katanya.

Dalam kesempatan itu, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi pun mengatakan, panjang atau pendeknya masa kampanye pemilu bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu konflik di masyarakat.

Menurut dia, konflik dalam pemilu bisa muncul karena beragam hal. Ia menyebutkan, antara lain, sistem pemilu, jumlah dan perilaku kandidat, serta integritas penyelenggara.

"Masa kampanye bukan satu-satunya yang memicu konflik dalam pemilu. Jadi panjang atau pendeknya bukan satu-satunya faktor yang menentukan konflik keras atau tidak," kata Pramono.

Sementara itu, saat ini, berbagai pihak mengajukan gugatan terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para penggugat meminta ketentuan ambang batas diubah dari 20 persen menjadi 0 persen. Adapun ketentuan itu diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Catatan Kompas.com, pihak yang mengajukan gugatan, antara lain, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan tiga anggota DPD RI Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama.

Ada pula seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Jakarta Timur, Ikhwan Mansyur Situmeang dan 27 diaspora Indonesia yang tersebar di Amerika Serikat, Prancis, hingga Singapura yang mengajukan gugatan yang sama ke MK.

Baca juga: PKS Tolak Presidential Threshold, Koalisi Partai Islam, hingga Penundaan Pemilu

Dalam gugatannya, mereka menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden membatasi hak konstitusional warga untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden yang dihasilkan partai politik peserta dalam pemilu.

Selain itu, penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dianggap potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.

Para penggugat sepakat, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu bertentangan dengan UUD 1945.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com