JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan alasan produksi kedelai dalam negeri masih sangat lemah, sehingga tergantung pada impor.
Menurutnya, struktur harga yang ada saat ini tak menguntungkan bagi petani apabila mereka menanam kedelai.
“Kita tergantung lebih dari 12 tahun impor kedelai karena harga (kedelai) luar Rp 5.000-an (per kilogram), sementara petani kita tidak bisa untung kalau (menjual kedelai) di bawah Rp 7.000,” kata Syahrul dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Selasa (22/3/2022).
Baca juga: Produksi Kedelai Lokal Tak Sampai 10 Persen dari Kebutuhan Nasional
Ia menambahkan, saat ini, 1 hektar lahan hanya dapat menghasilkan kedelai dengan rata-rata bobot sekitar 1,5 ton.
Itu artinya, setiap hektar lahan yang ditanami kedelai bernilai sekitar Rp 13 juta saja.
“Sementara kalau jagung dia tanam, 1 hektarnya bisa 5 ton paling sedikit. Dengan harga Rp 5.000 juga dia bisa hasilkan di atas Rp 20 juta. Ongkos produksinya kurang lebih Rp 7-8 juta, tapi hasilnya lebih banyak,” jelas Syahrul.
“Makanya tidak ada yang mau tanam kedelai. Kalau kita suruh tanam (kedelai) maksimal, ini merugikan (petani),” lanjutnya.
Syahrul mengaku upaya pemerintah tersandung kebijakan refocusing anggaran akibat pandemi Covid-19.
Sehingga, target perluasan lahan kedelai pun terpaksa susut pula dari target 400.000 menjadi hanya 57.000 hektar.
Di sisi lain, untuk mengatasi harga jual yang terlalu tinggi, Syahrul beranggapan bahwa petani kedelai butuh mendapatkan stimulasi harga, terutama dalam pengadaan bibit.
Jika tidak, maka para petani diprediksi akan pilih menggarap komoditas lain, semisal jagung yang dianggap lebih menguntungkan.
“(Kedelai dari) petani kita harus dibeli Rp 10.000 (per kilogram), jangan Rp 9.000. Kalau Rp 9.000, dia (petani) masih bisa beralih, dia akan ke jagung,” kata Syahrul.
Baca juga: Data Kementan Stok Kedelai Defisit, Perlu Impor hingga 3 Juta Ton
Sebelumnya diberitakan, kebutuhan kedelai dalam negeri pada tahun 2022 diperkirakan harus banyak dipenuhi melalui impor hingga nyaris 3 juta ton.
Hal itu terungkap dari Data Prognosa Neraca Komoditas Pangan Strategis Kementerian Pertanian yang dipaparkan dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI pada Selasa (22/3/2022).
Dalam data tersebut, neraca antara ketersediaan dan kebutuhan kedelai dalam negeri diperkirakan defisit 2,5 juta ton, tepatnya 2.592.226 ton.
Pemerintah diperkirakan perlu mengimpor 2.842.226 ton kedelai tahun ini, untuk menambal kebutuhan dalam negeri 2.983.511 ton. Sebab, ketersediaan kedelai tanpa impor tahun ini diklaim hanya 391.285 ton.
Dari segi kuantitas, impor kedelai akan menjadi impor terbesar dibandingkan komoditas-komoditas pangan strategis lain yang juga diperkirakan butuh impor.
Baca juga: Harga Kedelai Meroket, Kemendag: Kenaikan Harga Tahu dan Tempe Tidak Terhindarkan
Sebagai gambaran, pemerintah memproyeksikan impor bawang putih sebesar 366.900 ton, gula konsumsi 234.692 ton, dan daging sapi 134.356 ton.
Syahrul mengeklaim bahwa pihaknya memang perlu melakukan stabilisasi kedelai. Ia menyebut sejumlah agenda telah disusun untuk itu.
“Jangka pendek atau darurat/SOS dengan buffer stock 20.000 ton in/out. Agenda temporer memperluas tanaman kedelai, April, Juni, Juli, Oktober, masing-masing 300.000 hektar, dan agenda permanen memperluas tanaman kedelai dengan target 1 juta hektar tahun depan,” jelas Syahrul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.