JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan soal isu penundaan Pemilu 2024 berujung polemik.
Tidak sedikit yang mempersoalkan kewenangannya bicara ihwal tersebut. Sebagian lagi mempertanyakan kuasa Luhut di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sebabnya, di Kabinet Indonesia Maju, Luhut menjabat sebagai menteri yang membidangi urusan kemaritiman dan investasi.
Sementara, pemilu menjadi ranah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang kini dijabat Mahfud MD.
Baca juga: Luhut Sang Menteri Segala Urusan dari Investasi sampai Pemilu, Ini 15 Peran Sentralnya
Mahfud sendiri sebenarnya telah angkat bicara terkait persoalan ini. Ia mengatakan, pemerintah tidak pernah membahas penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Di tubuh pemerintah sendiri tidak pernah ada pembahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden/wapres baik itu menjadi tiga periode maupun untuk memperpanjang satu atau dua tahun,” kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Senin (7/3/2022).
Namun demikian, isu terlanjur dilempar, Luhut pun panen kritikan.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menjadi salah satu yang terang-terangan mempertanyakan sikap Luhut.
Hasto menilai, bukan menjadi ranah Luhut untuk membahas ihwal tersebut.
Baca juga: Luhut dan Mahfud Beda Sikap soal Penundaan Pemilu, di Mana Kuasa Jokowi?
"Menurut saya, Pak Luhut harus melakukan klarifikasi, beliau berbicara dalam kapasitas apa? Karena kalau berbicara politik, hukum dan keamanan itu kan ranah Menko Polhukam. Kalau berbicara politik demokrasi, tatanan pemerintahan, itu Mendagri,” kata Hasto dalam siaran pers, Senin (14/3/2022).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indo Strategic Ahmad Khoirul Umam menilai bahwa Luhut tak seharusnya dibiarkan mengambil peran Menko Polhukam untuk bicara soal penundaan pemilu.
"Bagaimana seorang Menko Kemaritiman dan Investasi seolah dibiarkan saja mengambil peran Menkopolhukam?" ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (17/3/2022).
Oleh karenanya, PDI-P sebagai partai pemilik saham terbesar di pemerintahan dinilai mesti mengevaluasi total peran Luhut di pemerintahan.
Menurut Umam, momentum ini bisa menjadi indikator awal pudarnya pamor kekuatan PDI-P sebagai sponsor utama koalisi pemerintahan.
Jika PDI-P tidak mampu mengonsolidasikan ulang partai-partai koalisi, kata dia, maka kegaduhan isu penundaan pemilu ini bakal menjadi awal perpecahan yang membuat partai-partai koalisi menyebar mengikuti kepentingan mereka masing-masing.
Baca juga: Saat Luhut Klaim Ada 110 Juta Warganet Suarakan Penundaan Pemilu tapi Ogah Buka Datanya...
"Jika kondisi ini berlanjut hingga membuat loyalitas menteri menjadi goyah, di mana kesetiaan mereka tidak lagi kepada presiden namun kepada partai politik maisng-masing, maka presiden akan segera bertransformasi menjadi pemimpin yang kesepian," tuturnya.
Beda suara dua menteri koordinator di kabinet pimpinan Jokowi pun disorot banyak pihak.
Ketua Departemen Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nabil Ahmad Fauzi menilai, perbedaan sikap Luhut dan Mahfud menunjukkan masalah pada kepemimpinan Jokowi.
"Kami menilai Presiden Jokowi sejak awal memang terlihat tidak firm dalam memegang kendali kabinet dan koalisi pendukung pemerintah," kata Nabil saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/3/2022).
Baca juga: Luhut Beda Suara dengan Mahfud soal Pemilu, PKS: Jokowi Tak Kuat Pegang Kendali
Nabil berpandangan, lemahnya kepemimpinan Jokowi menyebabkan menteri-menterinya tidak bekerja dengan apa yang menjadi visi Jokowi.
Sehingga, menurut dia, pernyataan Jokowi bahwa tidak ada visi menteri menjadi anomali.
Di sisi lain, belum solidnya sikap Jokowi, kabinet, dan koalisi pemerintahan terhadap isu penundaan pemilu juga dapat dimaknai bahwa ada permainan watak di antara mereka.
"Bisa jadi ini dibaca sebagai permainan watak untuk melihat reaksi publik terhadap wacara penundaan pemilu," ujar Nabil.
Sementara, menurut Khoirul Umam, terjadi indikasi perpecahan internal koalisi pemerintahan Jokowi.
Di satu sisi, terdapat pihak-pihak yang memaksakan idenya untuk menabrak konstitusi, di sisi lain ada partai pendukung yang menolak tegas gagasan tersebut.
"Perpecahan internal koalisi pemerintahan ini tampak jelas di setengah akhir periode kedua pemerintahan Jokowi ini," katanya kepada Kompas.com, Kamis (17/3/2022).
Baca juga: Luhut Beda Suara soal Penundaan Pemilu, Jokowi Dinilai Perlu Sampaikan Sikap Final Pemerintah
Situasi ini semakin rumit karena sikap Jokowi cenderung mencari aman dan ingin menyelamatkan muka sendiri atau face-saving strategy.
Ini dibuktikan dengan pernyataan presiden yang bersayap yang mengatakan bahwa dirinya patuh pada konstitusi, tapi usulan penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden tak bisa dilarang karena menjadi bagian dari demokrasi.
"Presiden mengeluarkan statement-statement bersayap yang seolah sedang memainkan strategi testing the water," ujar Umam.
Oleh karenanya, lanjut Umam, penting bagi Jokowi untuk menegaskan sikapnya soal polemik ini.
Jika presiden diam dan proses politik ini terus bergulir, maka patut diduga dia mendukung usulan penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca juga: Wacana Penundaan Pemilu, Politisi PDI-P Curiga Ada Harmoko di Sekitar Jokowi
"Agar kontroversi tidak berlanjut, presiden cukup menyampaikan, 'saya minta sudahi wacana penundaan pemilu ini, pemilu tetap akan dijalankan pada 14 Februari 2024 mendatang, sesuai keputusan pemerintah, DPR, dan KPU'," kata dia.
Luhut sendiri mengeklaim mendengar banyak aspirasi rakyat yang ingin pemilu ditunda.
Menurut dia, banyak yang bertanya ke dirinya mengapa harus menghabiskan dana begitu besar untuk pemilu, padahal pandemi virus corona belum selesai.
"(Masyarakat bertanya), kenapa duit segitu besar, itu kan banyak itu mengenai pilpres mau dihabisin sekarang, mbok nanti loh, kita masih sibuk kok dengan Covid, keadaan masih begini, dan seterus-seterusnya. Itu pertanyaan," kata Luhut usai menghadiri acara Kick-off DEWG Presidensi G-20 2022 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (15/3/2022).
Tak hanya itu, kepada Luhut, banyak yang menyatakan bahwa kondisi saat ini relatif tenang tanpa pergantian kepemimpinan.
Sebaliknya, pemilu bisa mengubah situasi politik menjadi tidak tenang karena adanya poros-poros dukungan ke calon tertentu.
Luhut pun mempertanyakan alasan mengapa Presiden Jokowi harus turun dari jabatannya.
"Saya tanya kamu, apa alasan orang bikin Pak Jokowi turun? Ada alasannya?" kata dia.
Baca juga: Soal Penundaan Pemilu 2024, Luhut Pertanyakan Alasan Jokowi Harus Turun
Luhut sebelumnya juga sempat mengungkap soal big data 110 juta warganet yang meminta supaya Pemilu 2024 ditunda.
Dia mengeklaim bahwa big data itu benar adanya. Namun demikian, Luhut enggan membuka data tersebut.
Meski turut menggulirkan isu ini, Luhut mengaku paham bahwa upaya menunda pemilu butuh proses yang panjang, perlu persetujuan DPR hingga MPR.
Luhut mengatakan, bakal menyambut baik jika wacana tersebut terealisasi. Namun, seandainya tidak berjalan, itu pun tak menjadi soal.
"(Kalau) MPR nggak setuju ya berhenti. Ya itulah demokrasi kita, kenapa mesti marah-marah? Ada yang salah?" kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.